Sebagai
warga negara yang baik, maka sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk memberikan
berbagai wujud kontribusi kepada negara tercinta kita ini, baik berupa ide,
jasa, ataupun materi demi terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan bangsa.
Salah satu bentuk wujud kontribusi yang sangat diharapkan oleh negara kita ini
adalah dengan membayar pajak. Sebagaimana pengertian pajak menurut Prof.Rochmat
Soemitro berikut, “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas
negara (peralihan kekayaan dari sektor partikulir kepada sektor pemerintah),
berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan), dengan tiada mendapat jasa timbal
(tegen prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan, dan digunakan untuk membiayai
pengeluaran umum”
Selain
itu, pajak juga merupakan sumber penerimaan negara yang paling signifikan,
karena di dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara, pajak memiliki porsi
terbesar yaitu sekitar 70%-80%. Maka bisa diambil suatu pemahaman, salah satu
hal yang dapat dilakukan untuk membela negara kita ini yaitu dengan cara memenuhi
kewajiban membayar pajak. Dengan begitu, secara tidak langsung kita ikut menyukseskan
pembangunan yang nantinya akan menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan seluruh
masyarakat
Seperti
yang kita ketahui, pemerintah telah beberapa kali melakukan reformasi di bidang
perpajakan sejak tahun 1983, yangmana tujuannya adalah meningkatkan rasio
perpajakan. Namun dilihat pada kenyataannya sekarang, reformasi bisa dikatakan
belum cukup berhasil karena pada kenyataannya penerimaan pajak kita masih belum
optimal yang disebabkan oleh berbagai hambatan. Hambatan tersebut baik berasal
dari wajib pajak dan juga karena sistem administrasi perpajakan itu sendiri
ataupun dari si pegawai pajak.
Hambatan
dalam penerimaan pajak sebagian besar berasal dari wajib pajak, baik karena
rendahnya kesadaran mereka ataupun kurangnya pengetahuan mereka akan
perpajakan. Untuk hal yang pertama,
rendahnya kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya peran pajak dapat
dibuktikan dengan data statistik 2011 dari Sensus Pajak Nasional bahwa dari
jumlah penduduk 234.000.000, jumlah wajib pajak yang terdaftar hanya mencapai
15.911.576 baik orang pribadi maupun badan, dan yang menyampaikan SPT hanya
8.202.309 wajib pajak atau dengan tingkat kepatuhan 58,16 persen. Hal ini dapat
dikarenakan kecenderungan masyarakat yang merasa terpaksa untuk membayar pajak,
seperti kata pepatah “Nobody love tax” Setiap
orang dan perusahaan pasti akan berusaha untuk membuat perhitungan pajak mereka
menjadi sekecil-kecilnya. Hal yang kedua
yaitu kurangnya pengetahuan mereka mengenai perpajakan. Tidak semua masyarakat
memahami sistem perpajakan apalagi setelah diberlakukannya sistem self
assesment ini. Maka kebanyakan orang pribadi atau badan terutama yang tinggal
di daerah terpencil jauh dari KPP tidak melaksanakan kewajiban perpajakannya.
Kurangnya pengetahuan mereka ini juga sering mengakibatkan salah persepsi mereka
mengenai pajak. Mereka mungkin sering berpikir untuk apa gunanya membayar pajak
karena mereka memang tidak akan merasakan manfaat langsung dari pajak, ditambah
lagi dengan adanya isu korupsi yang dilakukan pegawai pajak.
Hambatan
selanjutnya yaitu yang berasal dari sistem administrasi perpajakan itu sendiri.
Seperti yang kita ketahui hampir semua jenis pajak, kecuali PBB, telah
menggunakan sistem self assesment. Dalam sistem Self Assesment
dikenal istilah Advance Ruling, yaitu kewajiban yang dimiliki oleh fiskus untuk
selalu menjawab dan mengkonsultasikan berbagai pertanyaan dan kebingungan Wajib
Pajak terkait dengan hak dan kewajiban yang melekat pada diri mereka selaku
Wajib Pajak. Dengan demikian, Wajib Pajak dapat melaksanakan hak dan kewajiban
perpajakan mereka sesuai dengan aturan dan perundangan yang berlaku. Namun dalam
pelaksanaannya, sistem Advance Ruling ini menuai berbagai kendala, yaitu
kekurangan sumber daya yang dimiliki oleh fiskus untuk melayani setiap
pertanyaan dan kebingungan Wajib Pajak terkait dengan kewajiban perpajakan yang
dimilikinya. Kendala ini berkaitan dengan kurangnya kapabilitas fiskus untuk
memberikan panduan yang komprehensif bagi setiap wajib pajak dalam menjalankan
kewajiban perpajakannya.
Faktor yang juga dapat menjadi
penghambat ialah terdapatnya pegawai pajak yang tidak jujur, profesional, dan
berintegritas sehingga akhirnya mencoreng nama baik instansi perpajakan,
mengurangi kepercayaan masyarakat pada instansi perpajakan, dan yang lebih
buruk yaitu menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Namun
saya yakin, dengan terus berusaha melakukan berbagai upaya yang bisa
meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan administrasi perpajakan dan
mewujudkan pajak yang lebih baik, Indonesia bisa menjadi lebih baik dengan
pajak layaknya negara-negara maju seperti Amerika Serikat.
Upaya
pertama yang mulai dilakukan Direktorat Jenderal Pajak pada akhir tahun 2011
yaitu Sensus Pajak Nasional. Sensus Pajak Nasional adalah kegiatan pengumpulan
data kewajiban perpajakan dengan mendatangi lokasi usaha / tinggal di seluruh
wilayah Indonesia secara bertahap yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak
(DJP). SPN akan dilakukan terutama di sentra-sentra bisnis, kawasan
perdagangan, kawasan perindustrian, dan kawasan pemukiman orang kaya, dengan
tujuan penambahan jumlah Wajib Pajak (WP) terdaftar yang memiliki Nomor Pokok
Wajib Pajak, perluasan basis pengenaan pajak yaitu objek pajak dan subjek
pajak, pemutakhiran data antara yang tercatat di DJP dan data WP agar akurat,
peningkatan kepatuhan kewajiban perpajakan, dan intinya yaitu peningkatan
penerimaan pajak.
Untuk
masyarakat awam atau kurang berpengetahuan tentang pajak dapat dilakukan upaya
sosialisasi atau penyuluhan tentang pajak. Penyuluhan dapat dilakukan dengan
memberikan pemahaman, pelaporan, pengawasan dan persuasif. Pemahaman adalah
poin penting yang harus diperoleh oleh masyarakat, di mana masyarakat harus
mengerti apa itu pajak, bagaimana prosedur serta fungsinya. Kedua yaitu pelaporan
yangmana dilakukan oleh penyuluh dengan menjelaskan uang pajak berasal dari
mana saja, dikelola oleh siapa, dan diperuntukkan untuk apa. Pengawasan dapat
dilakukan dengan cara pemeriksaan atau penelitian. Dan yang terakhir yaitu persuasif,
yaitu cara untuk memengaruhi dan mengajak orang lain untuk membayar pajak.
Upaya
berikutnya yang mungkin belum dilakukan di Indonesia yaitu membentuk perangkat
regulasi mengenai Advance Ruling. Seperti
yang telah saya jelaskan sebelumnya, Advance
Ruling merupakan alat pembantu penerapan sistem Self Assesment di
negara-negara yang mengaplikasikan sistem self assesment. Secara konseptual, Advance Ruling memerlukan perangkat
regulasi yang menjamin terpenuhinya hak Wajib Pajak untuk meminta arahan dan
petunjuk prosedural disaat terbentur dengan peraturan yang ada. Praktek di
berbagai negara menunjukkan bahwa pada mayoritas negara yang menerapkan sistem
Self Assesment telah mengakomodasi hak tersebut lewat Undang-Undang
Perpajakannya. Serta sistem ini dikenal sebagai kunci keberhasilan sistem self
assesment bagi negara-negara tersebut.
Kesimpulannya,
Pajak merupakan bagian terpenting dari setiap negara termasuk Indonesia, yang
digunakan untuk membiayai pembangunan nasional untuk mewujudkan kemakmuran dan
kesejahteraan bangsa. Di Indonesia terdapat berbagai hambatan yang
mengakibatkan penerimaan pajak menjadi kurang optimal. Hambatan tersebut
terutama didominasi oleh wajib pajak yang kurang berpengetahuan tentang pajak
atau karena rendahnya kesadaran mereka tentang pajak atau karena salah persepsi
mengenai pajak. Serta hambatan dari sistem perpajakan itu sendiri. Namun,
berbagai hambatan tersebut dapat diminimalisir dengan melakukan berbagai upaya
yang bisa meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan administrasi
perpajakan dan mewujudkan pajak yang lebih baik. Maka Indonesia bisa menjadi
lebih baik dengan pajak layaknya negara-negara maju seperti Amerika Serikat.
0 komentar:
Posting Komentar