Pages

Assalamualaykum^-^

mari menebar kebaikan lewat tulisan. semoga bermanfaat^^

D-TAX 2011

Rabu, 15 Agustus 2012

Menilai Efektivitas dengan dialihkannya PBB & BPHTB sebagai Pajak Daerah

0 komentar

Seperti yang kita ketahui, sejak diberlakukannya UU No.28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, PBB sektor perkotaan dan pedesaan dan BPHTB yang tadinya merupakan pajak pusat dialihkan menjadi pajak daerah. Dan apakah pengalihan kewenangan ini akan merugikan negara atau mengurangi penerimaan pusat? Ternyata jawabannya adalah tidak. Pemerintah tentu telah memiliki berbagai pertimbangan dalam menetapkan kebijakan ini yang diharapkan mampu mengarah pada perbaikan dan meningkatkan pembangunan.
Disini saya akan membandingkan aspek positif dan negatif ketika PBB dan BPHTB menjadi pajak pusat dan ketika PBB dan BPHTB menjadi pajak daerah. Sebelum diberlakukannya UU No 28 tahun 2009, PBB dan BPHTB merupakan pajak yang menjadi tanggung jawab pemerintahan pusat, dipungut dan dikelola oleh pusat kemudian ditransfer ke daerah dalam bentuk dana bagi hasil, yang pembagiannya sebagai berikut :
-          Dana bagi hasil dari penerimaan PBB sebesar 90% dengan rincian sebagai berikut :
1.       16,2% untuk provinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah provinsi;
2.       64,8% untuk daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah kabupaten/kota;
3.       9% untuk biaya pemungutan;
-    10% bagian Pemerintah dari penerimaan PBB dibagikan kepada seluruh daerah kabupaten dan kota yang  didasarkan atas realisasi penerimaan PBB tahun anggaran berjalan, dengan imbangan sebagai berikut:
      1.  65% dibagikan merata kepada seluruh daerah kabupaten dan kota;
      2. 35% dibagikan sebagai insentif kepada daerah kabupaten dan kota yang realisasi tahun sebelumnya           mencapai/melampaui rencana penerimaan sektor tertentu.
- Dana Bagi Hasil dari penerimaan BPHTB adalah sebesar 80% dengan rincian sebagai berikut:
a.  16% untuk daerah provinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah provinsi;
b. 64% untuk daerah kabupaten dan kota penghasil dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah kabupaten/kota.
- 20% bagian Pemerintah dari penerimaan BPHTB dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten dan kota.
                Sebagaimana yang kita lihat pada pembagian dana atas penerimaan PBB dan BPHTB diatas, maka sudah seharusnya PBB dan BPHTB tidak menjadi tanggung jawab pusat, karena hampir seluruh penerimaannya merupakan bagian daerah.
Dan seperti yang kita ketahui, Negara kita juga telah menganut asas desentralisasi sebagai perwujudan dari prinsip  otonomi daerah. Yang mana menurut UU No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem NKRI. Pemerintah pusat tentu tidak mungkin melaksanakan dan mengawasi semua pelaksanaan pembangunan di seluruh wilayah yang tak terhingga luasnya ini. Jadi asas ini juga diterapkan dengan maksud agar pemerintah daerah mampu ikut berperan dalam pembangunan nasional. Asas desentralisasi ini jugalah yang menurut saya menjadi faktor pertimbangan bagi pemerintah membuat kebijakan untuk menetapkan PBB sektor perkotaan dan pedesaan dan BPHTB menjadi pajak daerah.
Seperti pernyataan yang disampaikan Bapak Mudjo Suwarno, Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah saat sosialisasi pengalihan PBB dan BPHTB menjadi pajak daerah di Sarilamak berikut, ‘’Salah satu kebijakan pajak daerah yang diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 adalah menetapkan PBB-P2 dan BPHTB menjadi pajak kabupaten/kota. Kedua jenis pajak tersebut layak ditetapkan menjadi pajak daerah karena telah memenuhi kriteria suatu pajak daerah. Yaitu ditinjau dari aspek lokalitas, hubungan antara pembayar pajak dan yang menikmati manfaat pajak, serta praktek yang umum di berbagai negara.”
                Mari kita cermati maksud pernyataan tersebut, dari aspek lokalitas, dinilai dari sudut pandang penulis, dengan dijadikannya PBB dan BPHTB sebagai pajak daerah yang sepenuhnya akan menjadi tanggung jawab daerah, maka sistem pemungutan dan pengelolaan serta pelayanan administrasinya bisa lebih efektif, pemerintah daerah tentu akan lebih memahami seluk beluk daerahnya dan mengetahui juga apa yang terbaik untuk daerahnya. Yang kedua, ditinjau dari hubungan antara pembayar pajak dan yang menikmati manfaat pajak.  Seperti yang sudah saya bahas sebelumnya, kalau hampir seluruh penerimaan PBB dan BPHTB itu diserahkan pada daerah. Jadi memang sudah sepantasnyalah PBB dan BPHTB dijadikan tanggung jawab daerah. Dengan demikian pula, tugas pemerintah pusat pun dapat terbantu dan penarikan PBB dan BPHTB dapat dilakukan secara maksimal jika penarikannya dilakukan oleh daerah itu sendiri. Dengan jauh berkurangnya wajib pajak yang harus dilayani oleh pemerintah pusat, maka diharapkan juga pelayanan perpajakan secara menyeluruh akan jauh lebih baik. Karena pelayanan yang baik akan meningkatkan kepatuhan perpajakan wajib pajak yang akhirnya akan meningkatkan penerimaan pajak. Karena seperti yang kita ketahui kalau pajak adalah sumber penerimaan yang signifikan dimana hampir 80% dana APBN bersumber dari berbagai jenis pajak yang ada. Dan yang ketiga, ditinjau dari praktek umum di berbagai negara. Pada umumnya, di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan lain lain, pelaksanaan desentralisasinya lebih baik dari negara-negara berkembang. Dan setiap daerah di negara mereka telah mampu mengurusi pemerintahan sendiri sehingga pembangunan dan perekonomian negara mereka sangat baik.
Lalu bagaimana dengan Indonesia yang termasuk negara berkembang?
Berdasarkan Penelitian Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) di 42 kabupaten / kota menunjukan kendala terbesar yang saat ini dihadapi oleh pemerintah daerah adalah dalam hal desentralisasi fiskal. Pada kenyataannya hampir tiap daerah sering kesulitan dalam mencari dan meningkatkan pendapatannya sendiri. Sehingga walaupun sudah 10 tahun desentralisasi dijalankan, sebagian daerah masih menggantungkan penerimaannya dari bantuan pusat dalam bentuk dana alokasi umum atau dana alokasi khusus. Hal ini terjadi karena tingkat pendapatan asli daerah yang masih rendah.
Pendapatan asli daerah adalah salah satu sumber pembiayaan bagi pelaksanaan desentralisasi yang paling signifikan karena jumlah PAD merupakan simbol kemandirian suatu daerah dalam memperoleh pendapatan dengan tidak bergantung pada APBN, dimana PAD ini didominasi atas penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah yang menjadi wewenang penuh suatu daerah.
Maka dari itulah, dengan adanya kebijakan baru UU No.28 tahun 2009 tentang PDRD dimana adanya pengalihan wewenang atas PBB dan BPHTB dari pusat ke daerah, diharapkan akan memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk melaksanakan desentralisasi secara maksimal dengan meningkatkan pendapatan asli daerah melalui pajak daerahnya sehingga pemerintah daerah dapat melaksanakan tugasnya secara lebih efektif dan efisien, serta membantu meningkatkan pembangunan dan perekonomian negara.
Jadi berdasarkan pertimbangan diatas, jelaslah kalau kebijakkan atas ditetapkannya PBB dan BPHTB sebagai pajak daerah dianggap sudah sangat tepat. Namun semua itu masih tidak dapat terhindar dari berbagai kekurangan dan masalah yang terjadi, misalnya karena masih terbatasnya pengalaman daerah dalam pengembangan sistem informasi dan infrastruktur penunjang, masih ada beberapa daerah yang belum siap menjalankan tanggung jawab ini misalnya karena belum mempersiapkan peraturan daerah dan kurangnya potensi sumber daya manusia yang dimiliki tiap daerah. Untuk BPHTB yang telah diwajibkan  mulai Januari 2011 ini, maka dapat timbul kerugian (potential lost) akibat ada beberapa daerah yang belum siap dan belum membuat peraturan daerah. Tetapi untuk PBB yang ditetapkan paling lambat Januari 2014, pemerintah daerah harus dapat memanfaatkan masa transisi ini untuk belajar dan mempersiapkan semuanya termasuk peraturan daerah dan sumber daya manusia agar benar-benar siap. Misalnya seperti yang dilakukan oleh walikota Kota Palembang, Bapak Edi Santana Putra, dengan banyak melakukan sosialisasi kepada masyarakat yang salah satu tujuannya supaya masyarakat rajin membayar PBB.  
Juga masih banyak hal yang dapat dilakukan atau diusahakan untuk mengatasi masalah yang terjadi. Misalnya dengan adanya koordinasi yang lebih baik antara pemerintah dan pemerintah daerah. Karena ini merupakan kebijakan baru jadi lebih baik kalau pemerintah pusat masih memberikan pengawasan lebih atas pelaksanaanya. Dan untuk masalah kinerja atas sumber daya manusia, bisa diatasi dengan cara pemerintah lebih sering memberikan sosialisasi pada setiap daerah dan pembelajaran atau pelatihan khusus misalnya yang diberikan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan terhadap beberapa SDM wakil dari pemerintah daerah masing-masing provinsi yang akan diberi materi khusus mengenai PBB dan BPHTB, seperti halnya pendidikan yang sedang diselenggarakan STAN saat ini, yaitu pendidikan khusus untuk wakil dari pemerintahan daerah untuk belajar tentang PBB dan BPHTB dimana sumber pembiayaan pendidikan berasal dari APBD.
Dengan melakukan berbagai upaya tersebut diharapkan kebijakan atas penerapan PBB dan BPHTB sebagai pajak daerah ini dapat terlaksana secara efektif dan efisien dan sesuai harapan kita bersama.

0 komentar:

Posting Komentar