Seperti yang kita ketahui, sejak
diberlakukannya UU No.28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,
PBB sektor perkotaan dan pedesaan dan BPHTB yang tadinya merupakan pajak pusat
dialihkan menjadi pajak daerah. Dan apakah pengalihan kewenangan ini akan
merugikan negara atau mengurangi penerimaan pusat? Ternyata jawabannya adalah
tidak. Pemerintah tentu telah memiliki berbagai pertimbangan dalam menetapkan
kebijakan ini yang diharapkan mampu mengarah pada perbaikan dan meningkatkan
pembangunan.
Disini saya akan membandingkan aspek positif
dan negatif ketika PBB dan BPHTB menjadi pajak pusat dan ketika PBB dan BPHTB menjadi
pajak daerah. Sebelum diberlakukannya UU No 28 tahun 2009, PBB dan BPHTB merupakan
pajak yang menjadi tanggung jawab pemerintahan pusat, dipungut dan dikelola
oleh pusat kemudian ditransfer ke daerah dalam bentuk dana bagi hasil, yang
pembagiannya sebagai berikut :
-
Dana bagi hasil dari penerimaan PBB sebesar
90% dengan rincian sebagai berikut :
1.
16,2% untuk provinsi yang bersangkutan dan
disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah provinsi;
2.
64,8% untuk daerah kabupaten/kota yang
bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah kabupaten/kota;
3.
9% untuk biaya pemungutan;
- 10% bagian Pemerintah
dari penerimaan PBB dibagikan kepada seluruh daerah kabupaten dan kota
yang didasarkan atas realisasi
penerimaan PBB tahun anggaran berjalan, dengan imbangan sebagai berikut:
1. 65% dibagikan merata kepada seluruh daerah
kabupaten dan kota;
2. 35% dibagikan
sebagai insentif kepada daerah kabupaten dan kota yang realisasi tahun
sebelumnya mencapai/melampaui
rencana penerimaan sektor tertentu.
- Dana Bagi Hasil dari penerimaan
BPHTB adalah sebesar 80% dengan rincian sebagai berikut:
a. 16% untuk daerah provinsi yang bersangkutan
dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah provinsi;
b. 64% untuk
daerah kabupaten dan kota penghasil dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah
kabupaten/kota.
- 20%
bagian Pemerintah dari penerimaan BPHTB dibagikan dengan porsi yang sama besar
untuk seluruh kabupaten dan kota.
Sebagaimana
yang kita lihat pada pembagian dana atas penerimaan PBB dan BPHTB diatas, maka
sudah seharusnya PBB dan BPHTB tidak menjadi tanggung jawab pusat, karena
hampir seluruh penerimaannya merupakan bagian daerah.
Dan seperti yang kita ketahui, Negara kita
juga telah menganut asas desentralisasi sebagai perwujudan dari prinsip otonomi daerah. Yang mana menurut UU No 33
tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah, desentralisasi adalah penyerahan
wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem NKRI. Pemerintah pusat tentu
tidak mungkin melaksanakan dan mengawasi semua pelaksanaan pembangunan di
seluruh wilayah yang tak terhingga luasnya ini. Jadi asas ini juga diterapkan
dengan maksud agar pemerintah daerah mampu ikut berperan dalam pembangunan
nasional. Asas desentralisasi ini jugalah yang menurut saya menjadi faktor
pertimbangan bagi pemerintah membuat kebijakan untuk menetapkan PBB sektor
perkotaan dan pedesaan dan BPHTB menjadi pajak daerah.
Seperti pernyataan yang disampaikan Bapak
Mudjo Suwarno, Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah saat sosialisasi
pengalihan PBB dan BPHTB menjadi pajak daerah di Sarilamak berikut, ‘’Salah satu kebijakan pajak daerah yang
diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 adalah menetapkan PBB-P2 dan BPHTB menjadi
pajak kabupaten/kota. Kedua jenis pajak tersebut layak ditetapkan menjadi pajak
daerah karena telah memenuhi kriteria suatu pajak daerah. Yaitu ditinjau dari
aspek lokalitas, hubungan antara pembayar pajak dan yang menikmati manfaat
pajak, serta praktek yang umum di berbagai negara.”
Mari kita
cermati maksud pernyataan tersebut, dari aspek lokalitas, dinilai dari sudut
pandang penulis, dengan dijadikannya PBB dan BPHTB sebagai pajak daerah yang sepenuhnya
akan menjadi tanggung jawab daerah, maka sistem pemungutan dan pengelolaan
serta pelayanan administrasinya bisa lebih efektif, pemerintah daerah tentu
akan lebih memahami seluk beluk daerahnya dan mengetahui juga apa yang terbaik
untuk daerahnya. Yang kedua, ditinjau dari hubungan antara pembayar pajak dan
yang menikmati manfaat pajak. Seperti
yang sudah saya bahas sebelumnya, kalau hampir seluruh penerimaan PBB dan BPHTB
itu diserahkan pada daerah. Jadi memang sudah sepantasnyalah PBB dan BPHTB
dijadikan tanggung jawab daerah. Dengan demikian pula, tugas pemerintah pusat
pun dapat terbantu dan penarikan PBB dan BPHTB dapat dilakukan secara maksimal
jika penarikannya dilakukan oleh daerah itu sendiri. Dengan jauh berkurangnya
wajib pajak yang harus dilayani oleh pemerintah pusat, maka diharapkan juga
pelayanan perpajakan secara menyeluruh akan jauh lebih baik. Karena pelayanan
yang baik akan meningkatkan kepatuhan perpajakan wajib pajak yang akhirnya akan
meningkatkan penerimaan pajak. Karena seperti yang kita ketahui kalau pajak
adalah sumber penerimaan yang signifikan dimana hampir 80% dana APBN bersumber
dari berbagai jenis pajak yang ada. Dan yang ketiga, ditinjau dari praktek umum
di berbagai negara. Pada umumnya, di negara-negara maju seperti Amerika Serikat
dan lain lain, pelaksanaan desentralisasinya lebih baik dari negara-negara
berkembang. Dan setiap daerah di negara mereka telah mampu mengurusi pemerintahan
sendiri sehingga pembangunan dan perekonomian negara mereka sangat baik.
Lalu bagaimana dengan Indonesia yang termasuk
negara berkembang?
Berdasarkan
Penelitian Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) di 42 kabupaten
/ kota menunjukan kendala terbesar yang saat ini dihadapi oleh pemerintah
daerah adalah dalam hal desentralisasi fiskal. Pada kenyataannya hampir tiap
daerah sering kesulitan dalam mencari dan meningkatkan pendapatannya sendiri.
Sehingga walaupun sudah 10 tahun desentralisasi dijalankan, sebagian daerah
masih menggantungkan penerimaannya dari bantuan pusat dalam bentuk dana alokasi
umum atau dana alokasi khusus. Hal ini terjadi karena tingkat pendapatan asli
daerah yang masih rendah.
Pendapatan
asli daerah adalah salah satu sumber pembiayaan bagi pelaksanaan desentralisasi
yang paling signifikan karena jumlah PAD merupakan simbol kemandirian suatu
daerah dalam memperoleh pendapatan dengan tidak bergantung pada APBN, dimana
PAD ini didominasi atas penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah yang
menjadi wewenang penuh suatu daerah.
Maka dari itulah, dengan adanya kebijakan baru
UU No.28 tahun 2009 tentang PDRD dimana adanya pengalihan wewenang atas PBB dan
BPHTB dari pusat ke daerah, diharapkan akan memberikan keleluasaan bagi
pemerintah daerah untuk melaksanakan desentralisasi secara maksimal dengan
meningkatkan pendapatan asli daerah melalui pajak daerahnya sehingga pemerintah
daerah dapat melaksanakan tugasnya secara lebih efektif dan efisien, serta
membantu meningkatkan pembangunan dan perekonomian negara.
Jadi berdasarkan pertimbangan diatas, jelaslah kalau kebijakkan
atas ditetapkannya PBB dan BPHTB sebagai pajak daerah dianggap sudah sangat
tepat. Namun semua itu masih tidak dapat terhindar dari berbagai kekurangan dan
masalah yang terjadi, misalnya karena masih terbatasnya pengalaman daerah dalam
pengembangan sistem informasi dan infrastruktur penunjang, masih ada beberapa
daerah yang belum siap menjalankan tanggung jawab ini misalnya karena belum
mempersiapkan peraturan daerah dan kurangnya potensi sumber daya manusia yang
dimiliki tiap daerah. Untuk BPHTB yang telah diwajibkan mulai Januari 2011 ini, maka dapat timbul
kerugian (potential lost) akibat ada beberapa daerah yang belum siap dan belum membuat
peraturan daerah. Tetapi untuk PBB yang ditetapkan paling lambat Januari 2014,
pemerintah daerah harus dapat memanfaatkan masa transisi ini untuk belajar dan
mempersiapkan semuanya termasuk peraturan daerah dan sumber daya manusia agar
benar-benar siap. Misalnya seperti yang dilakukan oleh walikota Kota Palembang,
Bapak Edi Santana Putra, dengan banyak melakukan sosialisasi kepada masyarakat
yang salah satu tujuannya supaya masyarakat rajin membayar PBB.
Juga masih banyak hal yang dapat dilakukan atau diusahakan untuk
mengatasi masalah yang terjadi. Misalnya dengan adanya
koordinasi yang lebih baik antara pemerintah dan pemerintah daerah. Karena ini
merupakan kebijakan baru jadi lebih baik kalau pemerintah pusat masih
memberikan pengawasan lebih atas pelaksanaanya. Dan untuk masalah kinerja atas
sumber daya manusia, bisa diatasi dengan cara pemerintah lebih sering
memberikan sosialisasi pada setiap daerah dan pembelajaran atau pelatihan
khusus misalnya yang diberikan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan terhadap
beberapa SDM wakil dari pemerintah daerah masing-masing provinsi yang akan
diberi materi khusus mengenai PBB dan BPHTB, seperti halnya pendidikan yang
sedang diselenggarakan STAN saat ini, yaitu pendidikan khusus untuk wakil dari
pemerintahan daerah untuk belajar tentang PBB dan BPHTB dimana sumber
pembiayaan pendidikan berasal dari APBD.
Dengan
melakukan berbagai upaya tersebut diharapkan kebijakan atas penerapan PBB dan
BPHTB sebagai pajak daerah ini dapat terlaksana secara efektif dan efisien dan
sesuai harapan kita bersama.
0 komentar:
Posting Komentar