SUSUNAN DALAM SATU NASKAH
UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR
DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2007
MENGENAI KETENTUAN UMUM PERPAJAKAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini, yang dimaksud dengan :
1.
|
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang,
dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
|
2.
|
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak,
pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban
perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
|
3.
|
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan
baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang
meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya,
badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan
dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial
politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya
termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
|
4.
|
Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang
dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor
barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan
barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa,
atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.
|
5.
|
Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang
Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak
berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.
|
6.
|
Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak
sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai
tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak
dan kewajiban perpajakannya.
|
7.
|
Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk
menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu
jangka waktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini.
|
8.
|
Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila
Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun
kalender.
|
9.
|
Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak.
|
10.
|
Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat,
dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
11.
|
Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk
melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau
bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
12.
|
Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak.
|
13.
|
Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
|
14.
|
Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang
telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan
cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan.
|
15.
|
Surat ketetapan pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar.
|
16.
|
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah
kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan
jumlah pajak yang masih harus dibayar.
|
17.
|
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat ketetapan pajak
yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
|
18.
|
Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak
tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
|
19.
|
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak
lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
|
20.
|
Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.
|
21.
|
Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.
|
22.
|
Kredit Pajak untuk Pajak Penghasilan adalah pajak yang dibayar sendiri
oleh Wajib Pajak ditambah dengan pokok pajak yang terutang dalam Surat
Tagihan Pajak karena Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau
kurang dibayar, ditambah dengan pajak yang dipotong atau dipungut,
ditambah dengan pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di
luar negeri, dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak,
yang dikurangkan dari pajak yang terutang.
|
23.
|
Kredit Pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak Masukan yang
dapat dikreditkan setelah dikurangi dengan pengembalian pendahuluan
kelebihan pajak atau setelah dikurangi dengan pajak yang telah
dikompensasikan, yang dikurangkan dari pajak yang terutang.
|
24.
|
Pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang
mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan
yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja.
|
25.
|
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data,
keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan
profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain
dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
|
26.
|
Bukti Permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa
keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya
dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana di
bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan
kerugian pada pendapatan negara.
|
27.
|
Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk
mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak
pidana di bidang perpajakan.
|
28.
|
Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab
atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi
kewajiban Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
|
29.
|
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur
untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta,
kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan
dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan
keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak
tersebut.
|
30.
|
Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai
kelengkapan pengisian Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya
termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya.
|
31.
|
Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian
tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan
bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang
perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
|
32.
|
Penyidik adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan
Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik
untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
33.
|
Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan
kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan
ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang
terdapat dalam surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan
Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi
Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat
Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan
Bunga.
|
34.
|
Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap
surat ketetapan pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh
pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
|
35.
|
Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding
terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
|
36.
|
Putusan Gugatan adalah putusan badan peradilan pajak atas gugatan
terhadap hal-hal yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan dapat diajukan gugatan.
|
37.
|
Putusan Peninjauan Kembali adalah putusan Mahkamah Agung atas permohonan
peninjauan kembali yang diajukan oleh Wajib Pajak atau oleh Direktur
Jenderal Pajak terhadap Putusan Banding atau Putusan Gugatan dari badan
peradilan pajak.
|
38.
|
Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak adalah surat
keputusan yang menentukan jumlah pengembalian pendahuluan kelebihan
pajak untuk Wajib Pajak tertentu.
|
39.
|
Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga adalah surat keputusan yang
menentukan jumlah imbalan bunga yang diberikan kepada Wajib Pajak.
|
40.
|
Tanggal dikirim adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal
faksimili, atau dalam hal disampaikan secara langsung adalah tanggal
pada saat surat, keputusan, atau putusan disampaikan secara langsung.
|
41.
|
Tanggal diterima adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal
faksimili, atau dalam hal diterima secara langsung adalah tanggal pada
saat surat, keputusan, atau putusan diterima secara langsung.
|
Penjelasan Pasal 1
Cukup Jelas.
BAB II
NOMOR POKOK WAJIB PAJAK, SURAT PEMBERITAHUAN, DAN TATA CARA PEMBAYARAN PAJAK
NOMOR POKOK WAJIB PAJAK, SURAT PEMBERITAHUAN, DAN TATA CARA PEMBAYARAN PAJAK
Pasal 2
(1)
|
Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan
objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib
Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
| |
(2)
|
Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib
melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha, dan
tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena
Pajak.
| |
(3)
|
Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan:
| |
a.
|
tempat pendaftaran dan/atau tempat pelaporan usaha selain yang ditetapkan pada ayat (1) dan ayat (2); dan/atau
| |
b.
|
tempat pendaftaran pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal dan kantor Direktorat Jenderal Pajak
yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan, bagi
Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu.
| |
(4)
|
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau
mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan apabila Wajib Pajak atau
Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2).
| |
(4a)
|
Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib
Pajak dan/atau yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara
jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimulai sejak saat Wajib
Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, paling lama 5 (lima)
tahun sebelum diterbitkannya Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau
dikukuhkannya sebagai Pengusaha Kena Pajak.
| |
(5)
|
Jangka waktu pendaftaran dan pelaporan serta tata cara pendaftaran dan
pengukuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4) termasuk penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau
pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
| |
(6)
|
Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila:
| |
a.
|
diajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak oleh Wajib Pajak
dan/atau ahli warisnya apabila Wajib Pajak sudah tidak memenuhi
persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan;
| |
b.
|
Wajib Pajak badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha
| |
c.
|
Wajib Pajak bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia; atau
| |
d.
|
dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan Nomor
Pokok Wajib Pajak dan Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan
subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
| |
(7)
|
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan
keputusan atas permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dalam
jangka waktu 6 (enam) bulan untuk Wajib Pajak orang pribadi atau 12 (dua
belas) bulan untuk Wajib Pajak badan, sejak tanggal permohonan diterima
secara lengkap.
| |
(8)
|
Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak
dapat melakukan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
| |
(9)
|
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan
keputusan atas permohonan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan diterima
secara lengkap.
|
Penjelasan Pasal 2
Ayat (1)
Semua Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
berdasarkan sistem self assessment, wajib mendaftarkan diri pada kantor
Direktorat Jenderal Pajak untuk dicatat sebagai Wajib Pajak dan
sekaligus untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak.
Persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan
mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan
perubahannya.
Persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima
atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan
pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak
Penghasilan 1984 dan perubahannya.
Kewajiban mendaftarkan diri tersebut berlaku pula terhadap wanita kawin
yang dikenai pajak secara terpisah karena hidup terpisah berdasarkan
keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian
pemisahan penghasilan dan harta.
Wanita kawin selain tersebut di atas dapat mendaftarkan diri untuk
memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak atas namanya sendiri agar wanita
kawin tersebut dapat melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban
perpajakannya terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suaminya.
Nomor Pokok Wajib Pajak tersebut merupakan suatu sarana dalam
administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri
atau identitas Wajib Pajak. Oleh karena itu, kepada setiap Wajib Pajak
hanya diberikan satu Nomor Pokok Wajib Pajak. Selain itu, Nomor Pokok
Wajib Pajak juga dipergunakan untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran
pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan. Dalam hal
berhubungan dengan dokumen perpajakan, Wajib Pajak diwajibkan
mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak yang dimilikinya. Terhadap Wajib
Pajak yang tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib
Pajak dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Ayat (2)
Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai Pajak Pertambahan
Nilai berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan
perubahannya wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak.
Pengusaha orang pribadi berkewajiban melaporkan usahanya pada kantor
Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal
Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan, sedangkan bagi Pengusaha
badan berkewajiban melaporkan usahanya tersebut pada kantor Direktorat
Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Pengusaha
dan tempat kegiatan usaha dilakukan.
Dengan demikian, Pengusaha orang pribadi atau badan yang mempunyai
tempat kegiatan usaha di wilayah beberapa kantor Direktorat Jenderal
Pajak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak baik di kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha maupun di kantor
Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat
kegiatan usaha dilakukan.
Fungsi pengukuhan Pengusaha Kena Pajak selain dipergunakan untuk
mengetahui identitas Pengusaha Kena Pajak yang sebenarnya juga berguna
untuk melaksanakan hak dan kewajiban di bidang Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah serta untuk pengawasan
administrasi perpajakan.
Terhadap Pengusaha yang telah memenuhi syarat sebagai Pengusaha Kena
Pajak, tetapi tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Ayat (3)
Terhadap Wajib Pajak maupun Pengusaha Kena Pajak tertentu, Direktur
Jenderal Pajak dapat menentukan kantor Direktorat Jenderal Pajak selain
yang ditentukan pada ayat (1) dan ayat sebagai tempat pendaftaran untuk
memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau Pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak.
Selain itu, bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu, yaitu
Wajib Pajak orang pribadi yang mempunyai tempat usaha tersebar di
beberapa tempat, misalnya pedagang elektronik yang mempunyai toko di
beberapa pusat perbelanjaan, di samping wajib mendaftarkan diri pada
kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat
tinggal Wajib Pajak, juga diwajibkan mendaftarkan diri pada kantor
Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan
usaha Wajib Pajak dilakukan.
Ayat (4)
Terhadap Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak yang tidak memenuhi
kewajiban untuk mendaftarkan diri dan/atau melaporkan usahanya dapat
diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak secara jabatan. Hal ini dapat dilakukan apabila berdasarkan data
yang diperoleh atau dimiiiki oleh Direktorat Jenderal Pajak ternyata
orang pribadi atau badan atau Pengusaha tersebut telah memenuhi syarat
untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak.
Ayat (4a)
Ayat ini mengatur bahwa dalam penerbitan Nomor Pokok Wajib Pajak
dan/atau pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan harus
memperhatikan saat terpenuhinya persyaratan subjektif dan objektif dari
Wajib Pajak yang bersangkutan. Selanjutnya terhadap Wajib Pajak tersebut
tidak dikecualikan dari pemenuhan kewajiban perpajakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Hal ini dimaksudkan
untuk memberikan kepastian hukum kepada Wajib Pajak maupun Pemerintah
berkaitan dengan kewajiban Wajib Pajak untuk mendaftarkan diri dan hak
untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak, misalnya terhadap Wajib Pajak diterbitkan Nomor
Pokok Wajib Pajak secara jabatan pada tahun 2008 dan ternyata Wajib
Pajak telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan terhitung sejak tahun
2005, kewajiban perpajakannya timbul terhitung sejak tahun 2005.
Ayat (5)
Kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan
kewajiban melaporkan usaha untuk memperoleh pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak dibatasi jangka waktunya karena hal ini berkaitan dengan saat
pajak terutang dan kewajiban mengenakan pajak terutang. Pengaturan
tentang jangka waktu pendaftaran dan pelaporan tersebut, tata cara
pemberian dan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak serta pengukuhan dan
pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Ayat (6)
Cukup Jelas.
Ayat (7)
Cukup Jelas.
Ayat (8)
Cukup Jelas.
Ayat (9)
Cukup Jelas.
Pasal 2A
Masa Pajak sama dengan 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain
yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan paling lama 3 (tiga) bulan
kalender.
Penjelasan Pasal 2A
Cukup Jelas.
Pasal 3
(1)
|
Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar,
lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf
Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta
menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak
terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak.
| |
(1a)
|
Wajib Pajak yang telah mendapat izin Menteri Keuangan untuk
menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang
selain Rupiah, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bahasa
Indonesia dengan menggunakan satuan mata uang selain Rupiah yang
diizinkan, yang pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
| |
(1b)
|
Penandatanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
secara biasa, dengan tanda tangan stempel, atau tanda tangan elektronik
atau digital, yang semuanya mempunyai kekuatan hukum yang sama, yang
tata cara pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
| |
(2)
|
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a) mengambil
sendiri Surat Pemberitahuan di tempat yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak atau mengambil dengan cara lain yang tata cara
pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
| |
(3)
|
Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah:
| |
a.
|
untuk Surat Pemberitahuan Masa, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak;
| |
b.
|
untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang
pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak; atau
| |
c.
|
untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
| |
(3a)
|
Wajib Pajak dengan kriteria tertentu dapat melaporkan beberapa Masa Pajak dalam 1 (satu) Surat Pemberitahuan Masa.
| |
(3b)
|
Wajib Pajak dengan kriteria tertentu dan tata cara pelaporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3a) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
| |
(3c)
|
Batas waktu dan tata cara pelaporan atas pemotongan dan pemungutan pajak
yang dilakukan oleh bendahara pemerintah dan badan tertentu diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
| |
(4)
|
Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) untuk paling lama 2 (dua) bulan dengan cara menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis atau dengan cara lain kepada Direktur
Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
| |
(5)
|
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus disertai dengan
penghitungan sementara pajak yang terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak
dan Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran
pajak yang terutang, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
| |
(5a)
|
Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan sesuai batas waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau batas waktu perpanjangan
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), dapat diterbitkan Surat Teguran.
| |
(6)
|
Bentuk dan isi Surat Pemberitahuan serta keterangan dan/atau dokumen
yang harus dilampirkan, dan cara yang digunakan untuk menyampaikan Surat
Pemberitahuan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
| |
(7)
|
Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan apabila:
| |
a.
|
Surat Pemberitahuan tidak ditandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
| |
b.
|
Surat Pemberitahuan tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan/atau dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (6);
| |
c.
|
Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar disampaikan setelah 3
(tiga) tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak atau
Tahun Pajak, dan Wajib Pajak telah ditegur secara tertulis; atau
| |
d.
|
Surat Pemberitahuan disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan atau menerbitkan surat ketetapan pajak.
| |
(7a)
|
Apabila Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (7), Direktur Jenderal Pajak wajib memberitahukan
kepada Wajib Pajak.
| |
(8)
|
Dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
Wajib Pajak Pajak Penghasilan tertentu yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
Penjelasan 3
Ayat (1)
Fungsi Surat Pemberitahuan bagi Wajib Pajak Pajak Penghasilan adalah
sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan
jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:
a.
|
pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau
melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun
Pajak atau Bagian Tahun Pajak;
|
b.
|
penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak;
|
c.
|
harta dan kewajiban; dan/atau
|
d.
|
pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau
pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
Bagi Pengusaha Kena Pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai
sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang
sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:
a.
|
pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran; dan
|
b.
|
pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh
Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah
sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang
dipotong atau dipungut dan disetorkannya.
Yang dimaksud dengan mengisi Surat Pemberitahuan adalah mengisi formulir
Surat Pemberitahuan, dalam bentuk kertas dan/atau dalam bentuk
elektronik, dengan benar, lengkap, dan jelas sesuai dengan petunjuk
pengisian yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Sementara itu, yang dimaksud dengan benar, lengkap, dan jelas dalam mengisi Surat Pemberitahuan adalah:
a.
|
benar adalah benar dalam perhitungan, termasuk benar dalam penerapan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dalam penulisan, dan
sesuai dengan keadaan yang sebenarnya;
|
b.
|
lengkap adalah memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan objek
pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan; dan
|
c.
|
jelas adalah melaporkan asal-usul atau sumber dari objek pajak dan
unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
|
Surat Pemberitahuan yang telah diisi dengan benar, lengkap, dan jelas
tersebut wajib disampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat
Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan
oleh Direktur Jenderal Pajak.
Kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan oleh pemotong atau pemungut pajak dilakukan untuk setiap Masa Pajak.
Ayat (1a)
Cukup Jelas.
Ayat (1b)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Dalam rangka memberikan pelayanan dan kemudahan kepada Wajib Pajak,
formulir Surat Pemberitahuan disediakan pada kantor-kantor Direktorat
Jenderal Pajak dan tempat-tempat lain yang ditentukan oleh Direktur
Jenderal Pajak yang diperkirakan mudah terjangkau oleh Wajib Pajak. Di
samping itu, Wajib Pajak juga dapat mengambil Surat Pemberitahuan dengan
cara lain, misalnya dengan mengakses situs Direktorat Jenderal Pajak
untuk memperoleh formulir Surat Pemberitahuan tersebut.
Namun, untuk memberikan pelayanan yang lebih baik, Direktur Jenderal
Pajak dapat mengirimkan Surat Pemberitahuan kepada Wajib Pajak.
Ayat (3)
Ayat ini mengatur tentang batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan
yang dianggap cukup memadai bagi Wajib Pajak untuk mempersiapkan segala
sesuatu yang berhubungan dengan pembayaran pajak dan penyelesaian
pembukuannya.
Ayat (3a)
Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, antara lain Wajib Pajak usaha kecil, dapat:
a.
|
menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk
beberapa Masa Pajak sekaligus dengan syarat pembayaran seluruh pajak
yang wajib dilunasi menurut Surat Pemberitahuan Masa tersebut dilakukan
sekaligus paling lama dalam Masa Pajak yang terakhir; dan/atau
|
b.
|
menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa selain yang disebut pada huruf a
untuk beberapa Masa Pajak sekaligus dengan syarat pembayaran untuk
masing-masing Masa Pajak dilakukan sesuai batas waktu untuk Masa Pajak
yang bersangkutan.
|
Ayat (3b)
Cukup Jelas.
Ayat (3c)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Apabila Wajib Pajak baik orang pribadi maupun badan ternyata tidak dapat
menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam jangka waktu yang telah
ditetapkan pada ayat (3) huruf b, atau huruf c karena luasnya kegiatan
usaha dan masalah-masalah teknis penyusunan laporan keuangan, atau sebab
lainnya sehingga sulit untuk memenuhi batas waktu penyelesaian dan
memerlukan kelonggaran dari batas waktu yang telah ditentukan, Wajib
Pajak dapat memperpanjang penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atau
dengan cara lain misalnya dengan Pemberitahuan secara elektronik kepada
Direktur Jenderal PaJak.
Ayat (5)
Untuk mencegah usaha penghindaran dan/atau perpanjangan waktu pembayaran
pajak yang terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak yang harus dibayar
sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan, perlu
ditetapkan persyaratan yang berakibat pengenaan sanksi administrasi
berupa bunga bagi Wajib Pajak yang ingin memperpanjang waktu penyampaian
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Persyaratan tersebut berupa keharusan menyampaikan pemberitahuan
sementara dengan menyebutkan besarnya pajak yang harus dibayar
berdasarkan penghitungan sementara pajak yang terutang dalam 1 (satu)
Tahun Pajak dan Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan, sebagai
lampiran pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Ayat (5a)
Dalam rangka pembinaan terhadap Wajib Pajak yang sampai dengan batas
waktu yang telah ditentukan ternyata tidak menyampaikan Surat
Pemberitahuan, terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan dapat diberikan
Surat Teguran.
Ayat (6)
Mengingat fungsi Surat Pemberitahuan merupakan sarana Wajib Pajak,
antara lain untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan
jumlah pajak dan pembayarannya, dalam rangka keseragaman dan mempermudah
pengisian serta pengadministrasiannya, bentuk dan isi Surat
Pemberitahuan, keterangan dokumen yang harus dilampirkan dan cara yang
digunakan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sekurang-kurangnya memuat
jumlah peredaran, Jumlah penghasilan, jumlah Penghasilan Kena Pajak,
jumlah pajak yang terutang, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan atau
kelebihan pajak, serta harta dan kewajiban di luar kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas bagi Wajib Pajak orang pribadi. Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan
pembukuan harus dilengkapi dengan laporan keuangan berupa neraca dan
laporan laba rugi serta keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung
besarnya Penghasilan Kena Pajak. Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai sekurang-kurangnya memuat jumlah Dasar Pengenaan
Pajak, jumlah Pajak Keluaran, jumlah Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan, dan jumlah kekurangan atau kelebihan pajak.
Ayat (7)
Surat Pemberitahuan yang ditandatangani beserta lampirannya adalah satu
kesatuan yang merupakan unsur keabsahan Surat Pemberitahuan. Oleh karena
itu, Surat Pemberitahuan dari Wajib Pajak yang disampaikan, tetapi
tidak dilengkapi dengan lampiran yang dipersyaratkan, tidak dianggap
sebagai Surat Pemberitahuan dalam administrasi Direktorat Jenderal
Pajak. Dalam hal demikian, Surat Pemberitahuan tersebut dianggap sebagai
data perpajakan.
Demikian juga apabila penyampaian Surat Pemberitahuan yang menyatakan
lebih bayar telah melewati 3 (tiga) tahun sesudah berakhirnya Masa
Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak dan Wajib Pajak telah
ditegur secara tertulis, atau apabila Surat Pemberitahuan disampaikan
setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan atau menerbitkan
surat ketetapan pajak, Surat Pemberitahuan tersebut dianggap sebagai
data perpajakan.
Ayat (7a)
Cukup Jelas.
Ayat (8)
Pada prinsipnya setiap Wajib Pajak Pajak Penghasilan diwajibkan
menyampaikan Surat Pemberitahuan. Dengan pertimbangan efisiensi atau
pertimbangan lainnya, Menteri Keuangan dapat menetapkan Wajib Pajak
Pajak Penghasilan yang dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Surat
Pemberitahuan, misalnya Wajib Pajak orang pribadi yang menerima atau
memperoleh penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak, tetapi
karena kepentingan tertentu diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
Pasal 4
(1)
|
Wajib Pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, jelas, dan menandatanganinya.
|
(2)
|
Surat Pemberitahuan Wajib Pajak badan harus ditandatangani oleh pengurus atau direksi.
|
(3)
|
Dalam hal Wajib Pajak menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus
untuk mengisi dan menandatangani Surat Pemberitahuan, surat kuasa khusus
tersebut harus dilampirkan pada Surat Pemberitahuan.
|
(4)
|
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang wajib
menyelenggarakan pembukuan harus dilampiri dengan laporan keuangan
berupa neraca dan laporan laba rugi serta keterangan lain yang
diperlukan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak.
|
(4a)
|
Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah laporan keuangan dari masing-masing Wajib Pajak.
|
(4b)
|
Dalam hal laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4a) diaudit
oleh Akuntan Publik tetapi tidak dilampirkan pada Surat Pemberitahuan,
Surat Pemberitahuan dianggap tidak lengkap dan tidak jelas, sehingga
Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (7) huruf b.
|
(5)
|
Tata cara penerimaan dan pengolahan Surat Pemberitahuan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
Penjelasan Pasal 4
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Ayat (4a)
Yang dimaksud dengan Laporan Keuangan masing-masing Wajib Pajak adalah
laporan keuangan hasil kegiatan usaha masing-masing Wajib Pajak.
Contoh:
PT A memiliki saham pada PT B dan PT C. Dalam contoh tersebut, PT A
mempunyai kewajiban melampirkan laporan keuangan konsolidasi PT A dan
anak perusahaan, juga melampirkan laporan keuangan atas usaha PT A
(sebelum dikonsolidasi), sedangkan PT B dan PT C wajib melampirkan
laporan keuangan masing-masing, bukan laporan keuangan konsolidasi.
Ayat (4b)
Cukup Jelas.
Ayat (5)
Tata cara penerimaan dan pengolahan Surat Pemberitahuan memuat hal-hal
mengenai, antara lain, penelitian kelengkapan, pemberian tanda terima,
pengelompokan Surat Pemberitahuan Lebih Bayar, Kurang Bayar, dan Nihil,
prosedur perekaman dan tindak lanjut pengelolaannya, yang diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 5
Untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan, Direktur Jenderal Pajak dalam
hal-hal tertentu dapat menentukan tempat lain bukan tempat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
Penjelasan Pasal 5
Cukup Jelas.
Pasal 6
(1)
|
Surat Pemberitahuan yang disampaikan langsung oleh Wajib Pajak ke kantor
Direktorat Jenderal Pajak harus diberi tanggal penerimaan oleh pejabat
yang ditunjuk dan kepada Wajib Pajak diberikan bukti penerimaan.
|
(2)
|
Penyampaian Surat Pemberitahuan dapat dikirimkan melalui pos dengan
tanda bukti pengiriman surat atau dengan cara lain yang diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
(3)
|
Tanda bukti dan tanggal pengiriman surat untuk penyampaian Surat
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap sebagai tanda
bukti dan tanggal penerimaan sepanjang Surat Pemberitahuan tersebut
telah lengkap.
|
Penjelasan Pasal 6
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Dalam rangka peningkatan pelayanan kepada Wajib Pajak dan sejalan dengan
perkembangan teknologi informasi, perlu cara lain bagi Wajib Pajak
untuk memenuhi kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuannya, misalnya
disampaikan secara elektronik.
Ayat (3)
Tanda bukti dan tanggal pengiriman surat untuk penyampaian Surat
Pemberitahuan melalui pos atau dengan cara lain merupakan bukti
penerimaan, apabila Surat Pemberitahuan dimaksud telah lengkap, yaitu
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), ayat
(1a), dan ayat (6).
Pasal 7
(1)
|
Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu
perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (4), dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp
500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat
Pemberitahuan Masa lainnya, dan sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta
rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak
badan serta sebesar Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi.
| |
(2)
|
Pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan terhadap:
| |
a.
|
Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia;
| |
b.
|
Wajib Pajak orang pribadi yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas;
| |
c.
|
Wajib Pajak orang pribadi yang berstatus sebagai warga negara asing yang tidak tinggal lagi di Indonesia;
| |
d.
|
Bentuk Usaha Tetap yang tidak melakukan kegiatan lagi di Indonesia;
| |
e.
|
Wajib Pajak badan yang tidak melakukan kegiatan usaha lagi tetapi belum dibubarkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
| |
f.
|
Bendahara yang tidak melakukan pembayaran lagi;
| |
g.
|
Wajib Pajak yang terkena bencana, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan; atau
| |
h.
|
Wajib Pajak lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
Penjelasan Pasal 7
Ayat (1)
Maksud pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana diatur
pada ayat ini adalah untuk kepentingan tertib administrasi perpajakan
dan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban
menyampaikan Surat Pemberitahuan.
Ayat (2)
Bencana adalah bencana nasional atau bencana yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Pasal 8
(1)
|
Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan
yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan
syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.
| |
(1a)
|
Dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan
harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan.
| |
(2)
|
Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan
yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas
jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian Surat
Pemberitahuan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari
bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
| |
(2a)
|
Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Masa yang
mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah
pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai
dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu)
bulan.
| |
(3)
|
Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan
tindakan penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib
Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, terhadap ketidakbenaran
perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan, apabila
Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran
perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran
jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa
denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari jumlah pajak yang
kurang dibayar.
| |
(4)
|
Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan
syarat Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak,
Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan
tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang
telah disampaikan sesuai keadaan yang sebenarnya, yang dapat
mengakibatkan:
| |
a.
|
pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih kecil;
| |
b.
|
rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau lebih besar;
| |
c.
|
jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil; atau
| |
d.
|
jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil
| |
dan proses pemeriksaan tetap dilanjutkan.
| ||
(5)
|
Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan
ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima
puluh persen) dari pajak yang kurang dibayar, harus dilunasi oleh Wajib
Pajak sebelum laporan tersendiri dimaksud disampaikan.
| |
(6)
|
Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan yang telah
disampaikan, dalam hal Wajib Pajak menerima surat ketetapan pajak, Surat
Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau
Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun
Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi
fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan yang
akan dibetulkan tersebut, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah
menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat
Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali,
dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan
pemeriksaan.
|
Penjelasan Pasal 8
Ayat (1)
Terhadap kekeliruan dalam pengisian Surat Pemberitahuan yang dibuat oleh
Wajib Pajak, Wajib Pajak masih berhak untuk melakukan pembetulan atas
kemauan sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai
melakukan tindakan pemeriksaan. Yang dimaksud dengan "mulai melakukan
tindakan pemeriksaan" adalah pada saat Surat Pemberitahuan Pemeriksaan
Pajak disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau
anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
Ayat (1a)
Yang dimaksud dengan daluwarsa penetapan adalah Jangka waktu 5 (lima)
tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian
Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat(1).
Ayat (2)
Dengan adanya pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan atas kemauan
sendiri membawa akibat penghitungan jumlah pajak yang terutang dan
jumlah penghitungan pembayaran pajak menjadi berubah dari jumlah semula.
Atas kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat pembetulan tersebut
dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per
bulan.
Bunga yang terutang atas kekurangan pembayaran pajak tersebut, dihitung
mulai dari berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung
penuh 1 (satu) bulan. Yang dimaksud dengan "1 (satu) bulan" adalah
Jumlah hari dalam bulan kalender yang bersangkutan, misalnya mulai dari
tanggal 22 Juni sampai dengan 21 Juli, sedangkan yang dimaksud dengan
"bagian dari bulan" adalah jumlah hari yang tidak mencapai 1 (satu)
bulan penuh, misalnya 22 Juni sampai dengan 5 Juli.
Ayat (2a)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Wajib Pajak yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38
selama belum dilakukan penyidikan, sekalipun telah dilakukan
pemeriksaan dan Wajib Pajak telah mengungkapkan kesalahannya dan
sekaligus melunasi jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi
administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari
jumlah pajak yang kurang dibayar, terhadapnya tidak akan dilakukan
penyidikan.
Namun, apabila telah dilakukan tindakan penyidikan dan mulainya
penyidikan tersebut diberitahukan kepada Penuntut Umum, kesempatan untuk
mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya sudah tertutup bagi Wajib
Pajak yang bersangkutan.
Ayat (4)
Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan tetapi
belum menerbitkan surat ketetapan pajak, kepada Wajib Pajak baik yang
telah maupun yang belum membetulkan Surat Pemberitahuan masih diberikan
kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran pengisian Surat
Pemberitahuan yang telah disampaikan, yang dapat berupa Surat
Pemberitahuan Tahunan atau Surat Pemberitahuan Masa untuk tahun atau
masa yang diperiksa. Pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat
Pemberitahuan tersebut dilakukan dalam laporan tersendiri dan harus
mencerminkan keadaan yang sebenarnya sehingga dapat diketahui jumlah
pajak yang sesungguhnya terutang. Namun, untuk membuktikan kebenaran
laporan Wajib Pajak tersebut, proses pemeriksaan tetap dilanjutkan
sampai selesai.
Ayat (5)
Atas kekurangan pajak sebagai akibat adanya pengungkapan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dikenai sanksi administrasi berupa kenaikan
sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang dibayar, dan
harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan pengungkapan tersendiri
disampaikan. Namun, pemeriksaan tetap dilanjutkan. Apabila dari hasil
pemeriksaan terbukti bahwa laporan pengungkapan ternyata tidak sesuai
dengan keadaan yang sebenarnya, atas ketidakbenaran pengungkapan
tersebut dapat diterbitkan surat ketetapan pajak.
Ayat (6)
Sehubungan dengan diterbitkannya surat ketetapan pajak, Surat Keputusan
Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan
Peninjauan Kembali atas suatu Tahun Pajak yang mengakibatkan rugi fiskal
yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan tahun berikutnya atau tahun-tahun berikutnya, akan
dilakukan penyesuaian rugi fiskal sesuai dengan surat ketetapan pajak,
Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding,
atau Putusan Peninjauan Kembali dalam penghitungan Pajak Penghasilan
tahun-tahun berikutnya, pembatasan jangka waktu 3 (tiga) bulan tersebut
dimaksudkan untuk tertib administrasi tanpa menghilangkan hak Wajib
Pajak atas kompensasi kerugian.
Dalam hal Wajib Pajak membetulkan Surat Pemberitahuan lewat Jangka waktu
3 (tiga) bulan atau Wajib Pajak tidak mengajukan pembetulan sebagai
akibat adanya surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat
Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali
Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang
menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah
dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan,
Direktur Jenderal Pajak akan memperhitungkannya dalam menetapkan
kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Untuk Jelasnya diberikan contoh
sebagai berikut:
Contoh 1:
PT A menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2008 yang menyatakan:
Penghasilan Neto sebesar
|
Rp 200.000.000,00
|
Kompensasi kerugian berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2007 sebesar
|
Rp 150.000.000,00 (-)
|
Penghasilan Kena Pajak sebesar
|
Rp 50.000.000,00
|
Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2007
dilakukan pemeriksaan, dan pada tanggal 6 Januari 2010 diterbitkan surat
ketetapan pajak yang menyatakan rugi fiskal sebesar Rp 70.000.000,00
Berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut Direktur Jenderal Pajak akan
mengubah perhitungan Penghasilan Kena PaJak tahun 2008 menjadi sebagai
berikut:
Penghasilan Neto
|
Rp 200.000.000,00
|
Rugi menurut ketetapan pajak tahun 2007
|
Rp 70.000.000,00 (-)
|
Penghasilan Kena Pajak
|
Rp 130.000.000,00
|
Dengan demikian penghasilan kena pajak dari Surat Pemberitahuan yang
semula Rp5 0.000.000,00 (Rp 200.000.000,00 - Rp 150.000.000,00) setelah
pembetulan menjadi Rp 130.000.000,00 (Rp 200.000.000,00 - Rp
70.000.000,00)
Contoh 2:
PT B menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2008 yang menyatakan:
Penghasilan Neto sebesar
|
Rp 300.000.000,00
|
Kompensasi kerugian berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2007 sebesar
|
Rp 200.000.000,00 (-)
|
Penghasilan Kena Pajak sebesar
|
Rp 100.000.000,00
|
Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2007 dilakukan pemeriksaan dan pada tanggal 6 Januari 2010 diterbitkan surat ketetapan pajak yang menyatakan rugi fiskal sebesar Rp 250.000.000,00.
Berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut Direktur Jenderal Pajak akan mengubah perhitungan Penghasilan Kena Pajak tahun 2008 menjadi sebagai berikut:
Penghasilan Neto
|
Rp 300.000.000,00
|
Rugi menurut ketetapan pajak tahun 2007
|
Rp 250.000.000,00 (-)
|
Penghasilan Kena Pajak
|
Rp 50.000.000,00
|
Dengan demikian penghasilan kena pajak dari Surat Pemberitahuan yang
semula Rp 100.000.000,00 (Rp 300.000.000,00 - Rp 200.000.000,00) setelah
pembetulan menjadi Rp 50.000.000,00 (Rp 300.000.000,00 - Rp
250.000.000,00).
Pasal 9
(1)
|
Menteri Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan
penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi
masing-masing jenis pajak, paling lama 15 (lima belas) hari setelah saat
terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak.
|
(2)
|
Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan harus dibayar lunas sebelum
Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan disampaikan.
|
(2a)
|
Pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran
pajak, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen)
per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai
dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu)
bulan.
|
(2b)
|
Atas pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar
2% (dua persen) per bulan yang dihitung mulai dari berakhirnya batas
waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sampai dengan tanggal
pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
(3)
|
Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan,
Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan
Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah,
harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal
diterbitkan.
|
(3a)
|
Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu, jangka
waktu pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diperpanjang
paling lama menjadi 2 (dua) bulan yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
(4)
|
Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memberikan
persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak termasuk
kekurangan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 12
(dua belas) bulan, yang pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
|
Penjelasan Pasal 9
Ayat (1)
Batas waktu pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu
saat atau Masa Pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan batas waktu
tidak melampaui 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak
atau berakhirnya Masa Pajak. Keterlambatan dalam pembayaran dan
penyetoran tersebut berakibat dikenai sanksi administrasi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (2a)
Ayat ini mengatur pengenaan bunga atas keterlambatan pembayaran atau
penyetoran pajak. Untuk jelasnya cara penghitungan bunga tersebut
diberikan contoh sebagai berikut:
Angsuran masa Pajak Penghasilan Pasal 25 PT A tahun 2008 sejumlah Rp
10.000.000,00 per bulan. Angsuran masa Mei tahun 2008 dibayar tanggal 18
Juni 2008 dan dilaporkan tanggai 19 Juni 2008. Apabiia pada tanggal 15
Juli 2008 diterbitkan Surat Tagihan Pajak, sanksi bunga dalam Surat
Tagihan Pajak dihitung 1 (satu) bulan sebagai berikut:
1 x 2% x Rp 10.000.000,00 = Rp 200.000.00.
1 x 2% x Rp 10.000.000,00 = Rp 200.000.00.
Ayat (2b)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (3a)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Atas permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat memberikan
persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak yang terutang
termasuk kekurangan pembayaran Pajak Penghasilan yang masih harus
dibayar dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan meskipun
tanggal Jatuh tempo pembayaran telah ditentukan.
Kelonggaran tersebut diberikan dengan hati-hati untuk paling lama 12
(dua belas) bulan dan terbatas kepada Wajib Pajak yang benar-benar
sedang mengalami kesulitan likuiditas.
Pasal 10
(1)
|
Wajib Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak ke kas negara melalui tempat pembayaran
yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
(1a)
|
Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai
bukti pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh Pejabat kantor
penerima pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapatkan
validasi, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
|
(2)
|
Tata cara pembayaran, penyetoran pajak, dan pelaporannya serta tata cara
mengangsur dan menunda pembayaran pajak diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
|
Penjelasan Pasal 10
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (1a)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Adanya tata cara pembayaran pajak, penyetoran pajak, dan pelaporannya,
serta tata cara mengangsur dan menunda pembayaran pajak yang diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan diharapkan dapat
mempermudah pelaksanaan pembayaran pajak dan administrasinya.
Pasal 11
(1)
|
Atas permohonan Wajib Pajak, kelebihan pembayaran pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 17B, Pasal 17C, atau Pasal 17D
dikembalikan, dengan ketentuan bahwa apabila ternyata Wajib Pajak
mempunyai utang pajak, langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih
dahulu utang pajak tersebut.
|
(1a)
|
Kelebihan pembayaran pajak sebagai akibat adanya Surat Keputusan
Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan
Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi,
Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan
Ketetapan Pajak, dan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali,
serta Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga dikembalikan kepada Wajib
Pajak dengan ketentuan jika ternyata Wajib Pajak mempunyai utang pajak,
langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak
tersebut.
|
(2)
|
Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (1a) dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak diterima sehubungan dengan
diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (1), atau sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak
Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17B,
atau sejak diterbitkannya Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C atau Pasal 17D,
atau sejak diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat
Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan
Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak atau Surat
Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, atau sejak diterimanya Putusan
Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan kelebihan
pembayaran pajak.
|
(3)
|
Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah jangka
waktu 1 (satu) bulan, Pemerintah memberikan imbalan bunga sebesar 2%
(dua persen) per bulan atas keterlambatan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak, dihitung sejak batas waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) berakhir sampai dengan saat dilakukan pengembalian kelebihan.
|
(4)
|
Tata cara penghitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
Penjelasan Pasal 11
Ayat (1)
Jika setelah diadakan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang
dengan jumlah kredit pajak menunjukkan jumlah selisih lebih (jumlah
kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang) atau telah
dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, Wajib Pajak
berhak untuk meminta kembali kelebihan pembayaran pajak, dengan catatan
Wajib Pajak tersebut tidak mempunyai utang pajak.
Dalam hal Wajib PaJak masih mempunyai utang pajak yang meliputi semua
jenis pajak baik di pusat maupun cabang-cabangnya, kelebihan pembayaran
tersebut harus diperhitungkan lebih dahulu dengan utang pajak tersebut
dan jika masih terdapat sisa lebih, dikembalikan kepada Wajib Pajak.
Ayat (1a)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Untuk menjamin kepastian hukum bagi Wajib Pajak dan ketertiban
administrasi, batas waktu pengembalian kelebihan pembayaran pajak
ditetapkan paling lama 1 (satu) bulan:
a.
|
untuk Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 ayat (1), dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan tertulis
tentang pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
|
b.
|
untuk Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 ayat (2) dan Pasal 17B, dihitung sejak tanggal penerbitan;
|
c.
|
untuk Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Pasal 17D, dihitung sejak
tanggal penerbitan;
|
d.
|
untuk Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan
Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat
Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian
Imbalan Bunga, dihitung sejak tanggal penerbitan;
|
e.
|
untuk Putusan Banding dihitung sejak diterimanya Putusan Banding oleh
Kantor Direktorat Jendera Pajak yang berwenang melaksanakan putusan
pengadilan; atau
|
f.
|
untuk Putusan Peninjauan Kembali dihitung sejak diterimanya Putusan
Peninjauan Kembali oleh Kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang
melaksanakan putusan pengadilan sampai dengan saat diterbitkan Surat
Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.
|
Ayat (3)
Untuk menciptakan keseimbangan hak dan kewajiban bagi Wajib Pajak
melalui pelayanan yang lebih baik, diatur bahwa setiap keterlambatan
dalam pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepada Wajib Pajak yang bersangkutan
diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dihitung
sejak berakhirnya jangka waktu 1 (satu) bulan sampai dengan saat
diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
BAB III
PENETAPAN DAN KETETAPAN PAJAK
Pasal 12
PENETAPAN DAN KETETAPAN PAJAK
Pasal 12
(1)
|
Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak
menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak.
|
(2)
|
Jumlah Pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan
oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
(3)
|
Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang
terutang menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak benar, Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak yang
terutang.
|
Penjelasan Pasal 12
Ayat (1)
Pajak pada prinsipnya terutang pada saat timbulnya objek pajak yang
dapat dikenai pajak, tetapi untuk kepentingan administrasi perpajakan
saat terutangnya pajak tersebut adalah:
a.
|
pada suatu saat, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak ketiga;
|
b.
|
pada akhir masa, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pemberi
kerja, atau yang dipungut oleh pihak lain atas kegiatan usaha, atau oleh
Pengusaha Kena Pajak atas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah; atau
|
c.
|
pada akhir Tahun Pajak, untuk Pajak Penghasilan.
|
Jumlah pajak yang terutang yang telah dipotong, dipungut, atau pun yang
harus dibayar oleh Wajib Pajak setelah tiba saat atau masa pelunasan
pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 ayat (2),
oleh Wajib Pajak harus disetorkan ke kas negara melalui tempat
pembayaran yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
Berdasarkan Undang-Undang ini Direktorat Jenderal Pajak tidak
berkewajiban untuk menerbitkan surat ketetapan pajak atas semua Surat
Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak. Penerbitan suatu surat
ketetapan pajak hanya terbatas pada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan
oleh ketidakbenaran dalam pengisian Surat Pemberitahuan atau karena
ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.
Ayat (2)
Ketentuan ini mengatur bahwa kepada Wajib Pajak yang telah menghitung
dan membayar besarnya pajak yang terutang secara benar sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, serta melaporkan
dalam Surat Pemberitahuan, tidak perlu diberikan surat ketetapan pajak
atau pun Surat Tagihan Pajak.
Ayat (3)
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang
dihitung dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan yang bersangkutan
tidak benar, misalnya pembebanan biaya ternyata melebihi yang
sebenarnya, Direktur Jenderal Pajak menetapkan besarnya pajak yang
terutang sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Pasal 13
(1)
|
Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur
Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
dalam hal-hal sebagai berikut:
| |
a.
|
apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
| |
b.
|
apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan setelah ditegur secara
tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam
Surat Teguran;
| |
c.
|
apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ternyata
tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak
seharusnya dikenai tarif 0% (nol persen);
| |
d.
|
apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau Pasal 29
tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang
terutang; atau
| |
e.
|
apabila kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4a).
| |
(2)
|
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf e ditambah
dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per
bulan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat
terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau
Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar.
| |
(3)
|
Jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d ditambah dengan
sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar:
| |
a.
|
50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam satu Tahun Pajak;
| |
b.
|
100% (seratus persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang
dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetor, dan
dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetor; atau
| |
c.
|
100% (seratus persen) dari Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang tidak atau kurang dibayar.
| |
(4)
|
Besarnya pajak yang terutang yang diberitahukan oleh Wajib Pajak dalam
Surat Pemberitahuan menjadi pasti sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setelah saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak tidak
diterbitkan surat ketetapan pajak.
| |
(5)
|
Walaupun jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
telah lewat, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tetap dapat diterbitkan
ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh
delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar,
apabila Wajib Pajak setelah jangka waktu tersebut dipidana karena
melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya
yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
| |
(6)
|
Tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
|
Penjelasan Pasal 13
Ayat (1)
Ketentuan ayat ini memberi wewenang kepada Direktur Jenderal Pajak untuk
dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, yang pada
hakikatnya hanya terhadap kasus-kasus tertentu sebagaimana dimaksud pada
ayat ini. Dengan demikian, hanya terhadap Wajib Pajak yang berdasarkan
hasil pemeriksaan atau keterangan lain tidak memenuhi kewajiban formal
dan/atau kewajiban material. Keterangan lain tersebut adalah data
konkret yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktur Jenderal Pajak,
antara lain berupa hasil konfirmasi faktur pajak dan bukti pemotongan
Pajak Penghasilan. Wewenang yang diberikan oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk
melakukan koreksi fiskal tersebut dibatasi sampai dengan kurun waktu 5
(lima) tahun.
Menurut ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar baru diterbitkan jika Wajib Pajak tidak
membayar pajak sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Diketahuinya Wajib Pajak tidak atau kurang membayar pajak karena
dilakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan dan dari
hasil pemeriksaan itu diketahui bahwa Wajib Pajak tidak atau kurang
membayar dari jumlah pajak yang seharusnya terutang.
Pemeriksaan dapat dilakukan di tempat tinggal, tempat kedudukan,
dan/atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak. Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar dapat juga diterbitkan dalam hal Direktur Jenderal Pajak memiliki
data lain di luar data yang disampaikan oleh Wajib Pajak sendiri, dari
data tersebut dapat dipastikan bahwa Wajib Pajak tidak memenuhi
kewajiban pajak sebagaimana mestinya. Untuk memastikan kebenaran data
itu, terhadap Wajib Pajak dapat dilakukan pemeriksaan.
Surat Pemberitahuan yang tidak disampaikan pada waktunya walaupun telah
ditegur secara tertulis dan tidak juga disampaikan dalam jangka waktu
yang ditentukan dalam Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b membawa akibat Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar secara Jabatan. Terhadap ketetapan seperti
ini dikenai sanksi administrasi berupa kenaikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3).
Teguran, antara lain, dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada Wajib
Pajak yang beritikad baik untuk menyampaikan alasan atau sebab-sebab
tidak dapat disampaikannya Surat Pemberitahuan karena sesuatu hal di
luar kemampuannya (force majeur).
Bagi Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban perpajakan di bidang
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, yang
mengakibatkan pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c, dikenai sanksi administrasi dengan
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar ditambah dengan kenaikan
sebesar 100% (seratus persen).
Bagi Wajib Pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 atau pada saat diperiksa tidak memenuhi
permintaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 sehingga Direktur
Jenderal Pajak tidak dapat menghitung jumlah pajak yang seharusnya
terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Direktur Jenderal
Pajak berwenang menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan
penghitungan secara jabatan, yaitu penghitungan pajak didasarkan pada
data yang tidak hanya diperoleh dari Wajib Pajak saja.
Pembuktian atas uraian penghitungan yang dijadikan dasar penghitungan
secara jabatan oleh Direktur Jenderal Pajak dibebankan kepada Wajib
Pajak. Sebagai contoh:
a.
|
pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 tidak lengkap sehingga penghitungan laba rugi atau peredaran tidak jelas;
|
b.
|
dokumen-dokumen pembukuan tidak lengkap sehingga angka-angka dalam pembukuan tidak dapat diuji; atau
|
c.
|
dari rangkaian pemeriksaan dan/atau fakta-fakta yang diketahui besar
dugaan disembunyikannya dokumen atau data pendukung lain di suatu tempat
tertentu sehingga dari sikap demikian jelas Wajib Pajak telah tidak
menunjukkan iktikad baiknya untuk membantu kelancaran jalannya
pemeriksaan.
|
Beban pembuktian tersebut berlaku juga bagi ketetapan yang diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
Ayat (2)
Ayat ini mengatur sanksi administrasi perpajakan yang dikenakan kepada
Wajib Pajak karena melanggar kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan huruf e. Sanksi administrasi perpajakan
tersebut berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dicantumkan
dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.Sanksi administrasi berupa
bunga, dihitung dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dan
bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan. Walaupun Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar tersebut diterbitkan lebih dari 2 (dua) tahun sejak
berakhirnya Tahun Pajak, bunga dikenakan atas kekurangan tersebut hanya
untuk masa 2 (dua) tahun.
Contoh:
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan.
Wajib Pajak PT A mempunyai penghasilan kena pajak selama Tahun Pajak
2006 sebesar Rp 100.000.000,00 dan menyampaikan Surat Pemberitahuan
tepat waktu. Pada bulan April 2009 berdasarkan hasil pemeriksaan
diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar maka sanksi bunga
dihitung sebagai berikut:
1.
|
Penghasilan Kena Pajak
|
Rp 100.000.000,00
|
2.
|
Pajak yang terutang (30% x Rp100.000.000,00)
|
Rp 30.000.000,00
|
3.
|
Kredit pajak
|
Rp 10.000.000.00 (-)
|
4.
|
Pajak yang kurang dibayar
|
Rp 20.000.000,00
|
5.
|
Bunga 24 bulan (24 x 2% x Rp 20.000.000,00)
|
Rp 9.600.000,00 (+)
|
6.
|
Jumlah pajak yang masih harus dibayar
|
Rp 29.600.000,00
|
Dalam hal pengusaha tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak, selain harus menyetor pajak yang terutang,
pengusaha tersebut juga dikenai sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% (dua persen) per bulan dari pajak yang kurang dibayar yang
dihitung sejak berakhirnya Masa Pajak untuk paling lama 24 (dua puluh
empat) bulan.
Ayat (3)
Ayat ini mengatur sanksi administrasi dari suatu ketetapan pajak karena
melanggar kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b, huruf c, dan huruf d. Sanksi administrasi berupa kenaikan merupakan
suatu jumlah proporsional yang harus ditambahkan pada pokok pajak yang
kurang dibayar.
Besarnya sanksi administrasi berupa kenaikan berbeda-beda menurut jenis
pajaknya, yaitu untuk jenis Pajak Penghasilan yang dibayar oleh Wajib
Pajak sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh
persen), untuk jenis Pajak Penghasilan yang dipotong oleh orang atau
badan lain sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus
persen), sedangkan untuk jenis Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar
100% (seratus persen).
Ayat (4)
Untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak berkenaan dengan
pelaksanaan pemungutan pajak dengan sistem self assessment, apabila
dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun
Pajak, atau berakhirnya Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak tidak
menerbitkan surat ketetapan pajak, jumlah pembayaran pajak yang
diberitahukan dalam Surat Pemberitahuan Masa atau Surat Pemberitahuan
Tahunan pada hakikatnya telah menjadi tetap dengan sendirinya atau telah
menjadi pasti karena hukum sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Ayat (5)
Apabila terhadap Wajib Pajak dilakukan penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan, untuk menentukan kerugian pada pendapatan negara,
atas jumlah pajak yang terutang belum dikeluarkan surat ketetapan pajak.
Untuk mengetahui bahwa Wajib Pajak memang benar-benar melakukan tindak
pidana di bidang perpajakan, harus dibuktikan melalui proses pengadilan
yang dapat membutuhkan waktu lebih dari 5 (lima) tahun. Kemungkinan
dapat terjadi bahwa Wajib Pajak yang disidik oleh Penyidik Pegawai
Negeri Sipil, tetapi oleh penuntut umum tidak dituntut berdasarkan
sanksi pidana perpajakan, misalnya Wajib Pajak yang dijatuhi pidana oleh
pengadilan karena melakukan penyelundupan yang dalam putusan pengadiian
tersebut menunjukkan adanya suatu jumlah objek pajak yang belum dikenai
pajak.
Oleh karena itu, dalam rangka memperoleh kembali pajak yang terutang
tersebut, dalam hal Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak pidana
di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan
kerugian pada pendapatan negara berdasarkan putusan Pengadiian yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
masih dibenarkan untuk diterbitkan, ditambah sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang
tidak atau kurang dibayar meskipun jangka waktu 5 (lima) tahun
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampaui.
Ayat (6)
Cukup Jelas.
Pasal 13A
Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat
Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak
benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak
benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tidak
dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan
oleh Wajib Pajak dan Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan
pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa
kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang
dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar.
Penjelasan Pasal 13A
Pengenaan sanksi pidana merupakan upaya terakhir untuk meningkatkan
kepatuhan Wajib Pajak. Namun, bagi Wajib Pajak yang melanggar pertama
kali ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 tidak dikenai sanksi
pidana, tetapi dikenai sanksi administrasi.
Oleh karena itu, Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan
Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya
tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya
tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara
tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali
dilakukan Wajib Pajak. Dalam hal ini, Wajib Pajak tersebut wajib
melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari
jumlah pajak yang kurang dibayar.
Pasal 14
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila:
| ||
a.
|
Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
| ||
b.
|
dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung;
| ||
c.
|
Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga;
| ||
d.
|
pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi
tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat
waktu;
| ||
e.
|
pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak
mengisi faktur pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya,
selain:
| ||
1.
|
identitas pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya; atau
| ||
2.
|
identitas pembeli serta nama dan tandatangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (5) huruf b dan huruf g Undang-Undang Pajak Pertambahan
Nilai 1984 dan perubahannya, dalam hal penyerahan dilakukan oleh
Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran;
| ||
f.
|
Pengusaha Kena Pajak melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur pajak; atau
| ||
g.
|
Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan
pengembalian Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6a)
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.
| ||
(2)
|
Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak.
| ||
(3)
|
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah dengan
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya
pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak
sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak.
| ||
(4)
|
Terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d, huruf e, atau huruf f masing-masing, selain wajib
menyetor pajak yang terutang, dikenai sanksi administrasi berupa denda
sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
| ||
(5)
|
Terhadap Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g
dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per
bulan dari jumlah pajak yang ditagih kembali, dihitung dari tanggal
penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak
sampai dengan tanggal penerbitan Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari
bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
| ||
(6)
|
Tata cara penerbitan Surat Tagihan Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
Penjelasan Pasal 14
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Surat Tagihan Pajak menurut ayat ini disamakan kekuatan hukumnya dengan
surat ketetapan pajak sehingga dalam hal penagihannya dapat juga
dilakukan dengan Surat Paksa.
Ayat (3)
Ayat ini mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga atas Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan karena:
a.
|
Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar; atau
|
b.
|
penelitian Surat Pemberitahuan yang menghasilkan pajak kurang dibayar karena terdapat salah tulis dan/atau salah hitung.
|
Untuk jelasnya diberikan contoh cara penghitungan sebagai berikut:
a.
|
Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar. Pajak
Penghasilan Pasal 25 tahun 2008 setiap bulan sebesar Rp 100.000.000,00
jatuh tempo misalnya tiap tanggal 15 Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan
Juni 2008 dibayar tepat waktu sebesar Rp 40.000.000,00.
Atas kekurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 tersebut diterbitkan Surat
Tagihan Pajak pada tanggal 18 September 2008 dengan penghitungan sebagai
berikut :
| |||||||||
b.
|
Hasil penelitian Surat Pemberitahuan
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2008 yang
disampaikan pada tanggal 31 Maret 2009 setelah dilakukan penelitian
ternyata terdapat salah hitung yang menyebabkan Pajak Penghasilan kurang
bayar sebesar Rp1.000.000,00. Atas kekurangan Pajak Penghasilan
tersebut diterbitkan Surat Tagihan Pajak pada tanggal 12 Juni 2009
dengan penghitungan sebagai berikut:
|
Ayat (4)
Pengusaha Kena Pajak yang tidak membuat faktur pajak maupun Pengusaha
Kena Pajak yang membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu atau
tidak selengkapnya mengisi faktur pajak dikenai sanksi administrasi
berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
Demikian pula bagi Pengusaha Kena Pajak yang membuat faktur pajak,
tetapi melaporkannya tidak tepat waktu, dikenai sanksi yang sama. Sanksi
administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan
Pajak ditagih dengan Surat Tagihan Pajak, sedangkan pajak yang terutang
ditagih dengan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13.
Ayat (5)
Cukup Jelas.
Ayat (6)
Cukup Jelas.
Pasal 15
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat
terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau
Tahun Pajak apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan
jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam
rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.
|
(2)
|
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan
sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
|
(3)
|
Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan apabila
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan itu diterbitkan berdasarkan
keterangan tertulis dari Wajib Pajak atas kehendak sendiri, dengan
syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan
pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan.
|
(4)
|
Apabila jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
telah lewat, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tetap dapat
diterbitkan ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat
puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar,
dalam hal Wajib Pajak setelah jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut
dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak
pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap.
|
(5)
|
Tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
|
Penjelasan Pasal 15
Ayat (1)
Untuk menampung kemungkinan terjadinya suatu Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar yang ternyata telah ditetapkan lebih rendah atau pajak yang
terutang dalam suatu Surat Ketetapan Pajak Nihil ditetapkan lebih
rendah atau telah dilakukan pengembalian pajak yang tidak seharusnya
sebagaimana telah ditetapkan dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar,
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menerbitkan Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam Jangka waktu 5 (lima) tahun setelah
saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak
atau Tahun Pajak.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan merupakan koreksi atas surat
ketetapan pajak sebelumnya. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
baru diterbitkan apabila sudah pernah diterbitkan surat ketetapan
pajak. Pada prinsipnya untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan perlu dilakukan pemeriksaan. Jika surat ketetapan pajak
sebelumnya diterbitkan berdasarkan pemeriksaan, perlu dilakukan
pemeriksaan ulang sebelum menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan. Dalam hal surat ketetapan pajak sebelumnya diterbitkan
berdasarkan keterangan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1)
huruf a, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan juga harus
diterbitkan berdasarkan pemeriksaan, tetapi bukan pemeriksaan ulang.
Dengan demikian, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tidak akan
mungkin diterbitkan sebelum didahului dengan penerbitan surat ketetapan
pajak. Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dilakukan
dengan syarat adanya data baru termasuk data yang semula belum terungkap
yang menyebabkan penambahan pajak yang terutang dalam surat ketetapan
pajak sebelumnya. Sejalan dengan itu, setelah Surat Ketetapan Pajak
Lebih Bayar diterbitkan sebagai akibat telah lewat waktu 12 (dua belas)
bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B, Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan diterbitkan hanya dalam hal ditemukan data baru termasuk
data yang semula belum terungkap. Dalam hal masih ditemukan lagi data
baru termasuk data yang semula belum terungkap pada saat diterbitkannya
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan/atau data baru termasuk
data yang semula belum terungkap yang diketahui kemudian oleh Direktur
Jenderal Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan masih dapat
diterbitkan lagi.
Yang dimaksud dengan "data baru" adalah data atau keterangan mengenai
segala sesuatu yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak
yang terutang yang oleh Wajib Pajak belum diberitahukan pada waktu
penetapan semula, baik dalam Surat Pemberitahuan dan
lampiran-lampirannya maupun dalam pembukuan perusahaan yang diserahkan
pada waktu pemeriksaan.
Selain itu, yang termasuk dalam data baru adalah data yang semula belum terungkap, yaitu data yang:
a.
|
tidak diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan beserta lampirannya (termasuk laporan keuangan); dan/atau
|
b.
|
pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak
mengungkapkan data dan/atau memberikan keterangan lain secara benar,
lengkap, dan terinci sehingga tidak memungkinkan fiskus dapat menerapkan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan benar dalam
menghitung jumlah pajak yang terutang.
|
Walaupun Wajib Pajak telah memberitahukan data dalam Surat Pemberitahuan
atau mengungkapkannya pada waktu pemeriksaan, tetapi apabila
memberitahukannya atau mengungkapkannya dengan cara sedemikian rupa
sehingga membuat fiskus tidak mungkin menghitung besarnya Jumlah pajak
yang terutang secara benar sehingga jumlah pajak yang terutang
ditetapkan kurang dari yang seharusnya, hal tersebut termasuk dalam
pengertian data yang semula belum terungkap.
Contoh:
a.
|
Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan tertulis adanya
biaya ikian Rp 10.000.000,00, sedangkan sesungguhnya biaya tersebut
terdiri atas Rp 5.000.000.00 biaya iklan di media massa dan Rp
5.000.000.00 sisanya adalah sumbangan atau hadiah yang tidak boleh
dibebankan sebagai biaya. Apabila pada saat penetapan semula Wajib Pajak
tidak mengungkapkan perincian tersebut sehingga fiskus tidak melakukan
koreksi atas pengeluaran berupa sumbangan atau hadiah sehingga pajak
yang terutang tidak dapat dihitung secara benar, data mengenai
pengeluaran berupa sumbangan atau hadiah tersebut tergolong data yang
semula belum terungkap.
|
b.
|
Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan disebutkan
pengelompokan harta tetap yang disusutkan tanpa disertai dengan
perincian harta pada setiap kelompok yang dimaksud, demikian pula pada
saat pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan
perincian tersebut sehingga fiskus tidak dapat meneliti kebenaran
pengelompokan dimaksud, misalnya harta yang seharusnya termasuk dalam
kelompok harta berwujud bukan bangunan kelompok 3, tetapi dikelompokkan
ke dalam kelompok 2. Akibatnya, atas kesalahan pengelompokan harta
tersebut tidak dilakukan koreksi, sehingga pajak yang terutang tidak
dapat dihitung secara benar. Apabila setelah itu diketahui adanya data
yang menyatakan bahwa pengelompokan harta tersebut tidak benar, maka
data tersebut termasuk data yang semula belum terungkap.
|
c.
|
Pengusaha Kena Pajak melakukan pembelian sejumlah barang dari Pengusaha
Kena Pajak lain dan atas pembelian tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak
penjual diterbitkan faktur pajak. Barang-barang tersebut sebagian
digunakan untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan
kegiatan usahanya, seperti pengeluaran untuk kegiatan produksi,
distribusi, pemasaran, dan manajemen, dan sebagian lainnya tidak
mempunyai hubungan langsung. Seluruh faktur pajak tersebut dikreditkan
sebagai Pajak Masukan oleh Pengusaha Kena Pajak pembeli. Apabila pada
saat penetapan semula Pengusaha Kena Pajak tidak mengungkapkan rincian
penggunaan barang tersebut dengan benar sehingga tidak dilakukan koreksi
atas pengkreditan Pajak Masukan tersebut oleh fiskus, sebagai akibatnya
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang tidak dapat dihitung secara
benar. Apabila setelah itu diketahui adanya data atau keterangan tentang
kesalahan mengkreditkan Pajak Masukan yang tidak mempunyai hubungan
langsung dengan kegiatan usaha dimaksud, data atau keterangan tersebut
merupakan data yang semula belum terungkap.
|
Ayat (2)
Dalam hal setelah diterbitkan surat ketetapan pajak ternyata masih
ditemukan data baru termasuk data yang belum terungkap yang belum
diperhitungkan sebagai dasar penetapan tersebut, atas pajak yang kurang
dibayar ditagih dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus
persen) dari pajak yang kurang dibayar.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Dalam hal Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak pidana yang dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berupa pajak berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tetap dapat diterbitkan, ditambah
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan
persen) dari Jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar meskipun jangka
waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampaui.
Ayat (5)
Cukup Jelas.
Pasal 16
(1)
|
Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Direktur Jenderal
Pajak dapat membetulkan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak,
Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan
Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi
Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat
Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan
Bunga, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan
hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan.
|
(2)
|
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan
sejak tanggal surat permohonan pembetulan diterima, harus memberi
keputusan atas permohonan pembetulan yang diajukan Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
(3)
|
Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah lewat,
tetapi Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan
pembetulan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.
|
(4)
|
Apabila diminta oleh Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak wajib
memberikan keterangan secara tertulis mengenai hal-hal yang menjadi
dasar untuk menolak atau mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
Penjelasan Pasal 16
Ayat (1)
Pembetulan menurut ayat ini dilaksanakan dalam rangka menjalankan tugas
pemerintahan yang baik sehingga apabila terdapat kesalahan atau
kekeliruan yang bersifat manusiawi perlu dibetulkan sebagaimana
mestinya. Sifat kesalahan atau kekeliruan tersebut tidak mengandung
persengketaan antara fiskus dan Wajib Pajak. Apabila ditemukan kesalahan
atau kekeliruan baik oleh fiskus maupun berdasarkan permohonan Wajib
Pajak, kesalahan atau kekeliruan tersebut harus dibetulkan. Yang dapat
dibetulkan karena kesalahan atau kekeliruan adalah sebagai berikut:
a.
|
surat ketetapan pajak, yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak
Nihil, dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar;
|
b.
|
Surat Tagihan Pajak;
|
c.
|
Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak;
|
d.
|
Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga;
|
e.
|
Surat Keputusan Pembetulan;
|
f.
|
Surat Keputusan Keberatan;
|
g.
|
Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi;
|
h.
|
Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi;
|
i.
|
Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak; atau
|
j.
|
Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak.
|
Ruang Lingkup pembetulan yang diatur pada ayat ini terbatas pada kesalahan atau kekeliruan sebagai akibat dari:
a.
|
kesalahan tulis, antara lain kesalahan yang dapat berupa nama, alamat,
Nomor Pokok Wajib Pajak, nomor surat ketetapan pajak, jenis pajak, Masa
Pajak atau Tahun Pajak, dan tanggal jatuh tempo;
|
b.
|
kesalahan hitung, antara lain kesalahan yang berasal dari penjumlahan
dan/atau pengurangan dan/atau perkalian dan/atau pembagian suatu
bilangan; atau
|
c.
|
kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan, yaitu kekeliruan dalam penerapan tarif,
kekeliruan penerapan persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto,
kekeliruan penerapan sanksi administrasi, kekeliruan Penghasilan Tidak
Kena Pajak, kekeliruan penghitungan Pajak Penghasilan dalam tahun
berjalan, dan kekeliruan dalam pengkreditan pajak.
|
Pengertian "membetulkan" pada ayat ini, antara lain, menambahkan,
mengurangkan, atau menghapuskan, tergantung pada sifat kesalahan dan
kekeliruannya.
Jika masih terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau
kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak dapat mengajukan lagi
permohonan pembetulan kepada Direktur Jenderal Pajak, atau Direktur
Jenderal Pajak dapat melakukan pembetulan lagi karena jabatan.
Ayat (2)
Untuk memberikan kepastian hukum, permohonan pembetulan yang diajukan
oleh Wajib Pajak harus diputuskan dalam batas waktu paling lama 6 (enam)
bulan sejak permohonan diterima.
Ayat (3)
Dalam hal batas waktu 6 (enam) bulan terlampaui, tetapi Direktur
Jenderal Pajak belum memberikan keputusan, permohonan Wajib Pajak
dianggap dikabulkan.
Dengan dianggap dikabulkannya permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal
Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pembetulan sesuai dengan permohonan
Wajib Pajak.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Pasal 17
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila jumlah kredit pajak atau
jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang
terutang.
|
(2)
|
Berdasarkan permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak, setelah
meneliti kebenaran pembayaran pajak, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak
Lebih Bayar apabila terdapat pembayaran pajak yang seharusnya tidak
terutang, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
|
(3)
|
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar masih dapat diterbitkan lagi apabila
berdasarkan hasil pemeriksaan dan/atau data baru ternyata pajak yang
lebih dibayar jumlahnya lebih besar daripada kelebihan pembayaran pajak
yang telah ditetapkan.
|
Penjelasan Pasal 17
Ayat (1)
Menurut ketentuan ayat ini Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan untuk:
a.
|
Pajak Penghasilan apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang;
|
b.
|
Pajak Pertambahan Nilai apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada
jumlah pajak yang terutang. Jika terdapat pajak yang dipungut oleh
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, jumlah pajak yang terutang dihitung
dengan cara jumlah Pajak Keluaran dikurangi dengan pajak yang dipungut
oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tersebut; atau
|
c.
|
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah apabila jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang.
|
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar tersebut diterbitkan setelah dilakukan
pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak yang
menyatakan kurang bayar, nihil, atau lebih bayar yang tidak disertai
dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
Apabila Wajib Pajak setelah menerima Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
dan menghendaki pengembalian kelebihan pembayaran pajak, wajib
mengajukan permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(2).
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Pasal 17A
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak Nihil apabila jumlah kredit pajak atau jumlah
pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak
tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada pembayaran
pajak.
|
(2)
|
Tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Nihil diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
Penjelasan 17A
Ayat (1)
Menurut ketentuan ayat ini, Surat Ketetapan Pajak Nihil diterbitkan untuk:
a.
|
Pajak Penghasilan apabila jumlah kredit pajak sama dengan pajak yang
terutang atau pajak yang tidak terutang dan tidak ada kredit pajak;
|
b.
|
Pajak Pertambahan Nilai apabila jumlah kredit pajak sama dengan jumlah
paJak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit
pajak. Jika terdapat pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan
Nilai, jumlah pajak yang terutang dihitung dengan cara jumlah Pajak
Keluaran dikurangi dengan pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak
Pertambahan Nilai tersebut; atau
|
c.
|
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah apabila jumlah pajak yang dibayar sama
dengan jumlah pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan tidak
ada pembayaran pajak.
|
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Pasal 17B
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak, selain permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17C dan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D, harus
menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak
surat permohonan diterima secara lengkap.
|
(1a)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap
Wajib Pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan tindak
pidana di bidang perpajakan, yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
(2)
|
Apabila setelah melampaui jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar harus diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan
setelah jangka waktu tersebut berakhir.
|
(3)
|
Apabila Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar terlambat diterbitkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepada Wajib Pajak diberikan imbalan
bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dihitung sejak berakhirnya
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan saat
diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
|
(4)
|
Apabila pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) tidak dilanjutkan dengan penyidikan;
dilanjutkan dengan penyidikan, tetapi tidak dilanjutkan dengan
penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan; atau dilanjutkan dengan
penyidikan dan penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan, tetapi
diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan dalam hal
kepada Wajib Pajak diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, kepada
Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan
untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak berakhirnya
jangka waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sampai dengan saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, dan
bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
Penjelasan 17B
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "surat permohonan telah diterima secara lengkap"
adalah Surat Pemberitahuan yang telah diisi lengkap sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3.
Surat ketetapan pajak yang diterbitkan berdasarkan hasil pemeriksaan
atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat berupa
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Nihil atau
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
Ayat (1a)
Yang dimaksud dengan "sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan"
adalah dimulai sejak surat pemberitahuan pemeriksaan bukti permulaan
disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota
keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
Ayat (2)
Batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk
memberikan kepastian hukum terhadap permohonan Wajib Pajak atau
Pengusaha Kena Pajak sehingga bila batas waktu tersebut dilampaui dan
Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu keputusan, permohonan
tersebut dianggap dikabulkan. Selain itu, batas waktu tersebut
dimaksudkan pula untuk kepentingan tertib administrasi perpajakan.
Ayat (3)
Jika Direktur Jenderal Pajak terlambat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak
Lebih Bayar, kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua
persen) per bulan, dihitung sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) sampai dengan saat Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar diterbitkan, dan bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Pasal 17C
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak dengan kriteria
tertentu, menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima
secara lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling lama 1 (satu) bulan
sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai.
| |
(2)
|
Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
| |
a.
|
tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan;
| |
b.
|
tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali
tunggakan pajak yang telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda
pembayaran pajak;
| |
c.
|
Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan
keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3
(tiga) tahun berturut-turut; dan
| |
d.
|
tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang
perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.
| |
(3)
|
Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
| |
(4)
|
Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan menerbitkan surat ketetapan
pajak, setelah melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
| |
(5)
|
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar, jumlah kekurangan pajak ditambah dengan sanksi administrasi
berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan
pembayaran pajak.
| |
(6)
|
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diberikan
pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak apabila:
| |
a.
|
terhadap Wajib Pajak tersebut dilakukan tindakan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan;
| |
b.
|
terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu jenis pajak tertentu 2 (dua) Masa Pajak berturut-turut;
| |
c.
|
terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu jenis pajak
tertentu 3 (tiga) Masa Pajak dalam 1 (satu) tahun kalender; atau
| |
d.
|
terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.
| |
(7)
|
Tata cara penetapan Wajib Pajak dengan kriteria tertentu diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
Penjelasan 17C
Ayat (1)
Terhadap permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak untuk Wajib
Pajak dengan kriteria tertentu setelah dilakukan penelitian harus
diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak
paling lama:
a.
|
3 (tiga) bulan untuk Pajak Penghasilan
|
b.
|
1 (satu) bulan untuk Pajak Pertambahan Nilai
|
sejak permohonan di terima secara lengkap, dalam arti bahwa Surat
Pemberitahuan telah diisi lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1), ayat (1a), dan ayat (6). Permohonan dapat disampaikan dengan
cara mengisi kolom dalam Surat Pemberitahuan atau dengan surat
tersendiri. Pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dapat
diberikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan konfirmasi kebenaran
kredit pajak.
Ayat (2)
Termasuk dalam pengertian kepatuhan penyampaian Surat Pemberitahuan adalah:
a.
|
tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan dalam 3 (tiga) tahun terakhir;
|
b.
|
dalam Tahun Pajak terakhir, penyampaian Surat Pemberitahuan Masa untuk
Masa Pajak Januari sampai dengan November yang terlambat tidak lebih
dari 3 (tiga) Masa Pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak
berturut-turut; dan
|
c.
|
Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat sebagaimana dimaksud dalam huruf
b telah disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Masa Masa Pajak berikutnya.
|
d.
|
Bahwa Wajib Pajak tidak mempunyai tunggakan pajak adalah keadaan pada
tanggal 31 Desember. Utang pajak yang belum melewati batas akhir
pelunasan tidak termasuk dalam pengertian tunggakan pajak.
|
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun setelah melakukan pemeriksaan terhadap Wajib
Pajak yang telah memperoleh pengembalian pendahuluan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1). Surat ketetapan pajak tersebut dapat berupa
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, atau Surat Ketetapan Pajak Nihil,
atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
Ayat (5)
Untuk mendorong Wajib Pajak dalam melaporkan jumlah pajak yang terutang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku, maka apabila dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar ditambah dengan
sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari
jumlah kekurangan pembayaran pajak.
Untuk jelasnya cara penghitungan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan
pengenaan sanksi administrasi berupa kenaikan tersebut diberikan contoh
sebagai berikut:
1)
|
Pajak Penghasilan
| |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
-
|
Wajib Pajak telah memperoleh pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sebesar Rp 80.000.000,00.
| |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
-
|
Dari pemeriksaan diperoleh hasil sebagai berikut:
| |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan penghitungan sebagai berikut:
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2)
|
Pajak Pertambahan Nilai
| |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
-
|
Pengusaha Kena Pajak telah memperoleh pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sebesar Rp 60.000.000,00
| |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
-
|
Dari pemeriksaan diperoleh hasil sebagai berikut:
| |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan penghitungan sebagai berikut:
|
Ayat (6)
Cukup Jelas.
Ayat (7)
Cukup Jelas.
Pasal 17D
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak yang memenuhi
persyaratan tertentu, menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan
diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling lama 1
(satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak
Pertambahan Nilai.
| |
(2)
|
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak adalah:
| |
a.
|
Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
| |
b.
|
Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai dengan
jumlah tertentu;
| |
c.
|
Wajib Pajak badan dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu; atau
| |
d.
|
Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai dengan jumlah penyerahan dan jumlah lebih bayar sampai
dengan jumlah tertentu.
| |
(3)
|
Batasan jumlah peredaran usaha, jumlah penyerahan, dan jumlah lebih
bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
| |
(4)
|
Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menerbitkan surat ketetapan
pajak setelah melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
| |
(5)
|
Jika berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar,
jumlah pajak yang kurang dibayar ditambah dengan sanksi administrasi
berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen).
|
Penjelasan Pasal 17D
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Untuk mengurangi penyalahgunaan pemberian kemudahan percepatan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat
melakukan pemeriksaan setelah memberikan pengembalian pendahuluan
kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Ayat (5)
Untuk memotivasi Wajib Pajak agar melaporkan jumlah pajak yang terutang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, apabila
dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah pajak yang kurang dibayar
ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100%
(seratus persen) dari jumlah kekurangan pembayaran pajak.
Pasal 17E
Orang pribadi yang bukan subjek pajak dalam negeri yang melakukan
pembelian Barang Kena Pajak di dalam daerah pabean yang tidak dikonsumsi
di daerah pabean dapat diberikan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai
yang telah dibayar, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
Penjelasan Pasal 17E
Cukup Jelas.
BAB IV
PENAGIHAN PAJAK
PENAGIHAN PAJAK
Pasal 18
(1)
|
Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan,
Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan
Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar
bertambah, merupakan dasar penagihan pajak.
|
(2)
|
Dihapus.
|
Penjelasan Pasal 18
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Dihapus.
Pasal 19
(1)
|
Apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan, serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, yang
menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, pada saat
jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar, atas jumlah pajak yang
tidak atau kurang dibayar itu dikenai sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk seluruh masa, yang dihitung dari
tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pelunasan atau tanggal
diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh
1 (satu) bulan.
|
(2)
|
Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran
pajak juga dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua
persen) per bulan dari jumlah pajak yang masih harus dibayar dan bagian
dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
(3)
|
Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan menunda penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan dan ternyata penghitungan sementara pajak yang
terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) kurang dari jumlah
pajak yang sebenarnya terutang atas kekurangan pembayaran pajak
tersebut, dikenai bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung
dari saat berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b dan huruf c
sampai dengan tanggal dibayarnya kekurangan pembayaran tersebut dan
bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
Penjelasan Pasal 19
Ayat (1)
Ayat ini mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga berdasarkan
jumlah pajak yang masih harus dibayar yang tidak atau kurang dibayar
pada saat jatuh tempo pelunasan atau terlambat dibayar.
Contoh:
a.
|
Jumlah pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar sebesar Rp 10.000.000,00 yang diterbitkan tanggal 7 Oktober
2008, dengan batas akhir pelunasan tanggal 6 November 2008. Jumlah
pembayaran sampai dengan tanggal 6 November 2008 Rp 6.000.000,00. Pada
tanggal 1 Desember 2008 diterbitkan Surat Tagihan Pajak dengan
perhitungan sebagai berikut:
| ||||||||
b.
|
Dalam hal terhadap Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana
tersebut pada huruf a, Wajib Pajak membayar Rp 10.000.000,00 pada
tanggal 3 Desember 2008 dan pada tanggal 5 Desember 2008 diterbitkan
Surat Tagihan Pajak, sanksi administrasi berupa bunga dihitung sebagai
berikut:
|
Ayat (2)
Ayat ini mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga dalam hal
Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak.
Contoh:
a.
|
Wajib Pajak menerima Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebesar Rp
1.120.000.00 yang diterbitkan pada tanggal 2 Januari 2009 dengan batas
akhir pelunasan tanggal 1 Februari 2009. Wajib Pajak tersebut
diperbolehkan untuk mengangsur pembayaran pajak dalam jangka waktu 5
(lima) bulan dengan jumlah yang tetap sebesar Rp 224.000,00. Sanksi
administrasi berupa bunga untuk setiap angsuran dihitung sebagai
berikut:
| ||||||||||||||||||||
b.
|
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a diperbolehkan untuk
menunda pembayaran pajak sampai dengan tanggal 30 Juni 2009.Sanksi
administrasi berupa bunga atas penundaan pembayaran Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar tersebut sebesar 5 x 2% x Rp 1.120.000,00= Rp
112.000.00.
|
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Pasal 20
(1)
|
Atas jumlah pajak yang masih harus dibayar, yang berdasarkan Surat
Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali
yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, yang
tidak dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai dengan jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) dilaksanakan
penagihan pajak dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
| |
(2)
|
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penagihan seketika dan sekaligus dilakukan apabila:
| |
a.
|
Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;
| |
b.
|
Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang
dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan
atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;
| |
c.
|
terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usaha
atau menggabungkan atau memekarkan usaha, atau memindahtangankan
perusahaan yang dimiliki atau yang dikuasainya, atau melakukan perubahan
bentuk lainnya;
| |
d.
|
badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau
| |
e.
|
terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.
| |
(3)
|
Penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
Penjelasan Pasal 20
Ayat (1)
Apabila jumlah utang pajak tidak atau kurang dibayar sampai dengan
tanggal jatuh tempo pembayaran atau sampai dengan tanggal jatuh tempo
penundaan pembayaran, atau Wajib Pajak tidak memenuhi angsuran
pembayaran pajak, penagihannya dilaksanakan dengan Surat Paksa sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Penagihan
pajak dengan Surat Paksa tersebut dilaksanakan terhadap Penanggung
Pajak.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "penagihan seketika dan sekaligus" adalah tindakan
penagihan pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung
Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi
seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, Masa Pajak, dan Tahun Pajak.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Pasal 21
(1)
|
Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak.
| |
(2)
|
Ketentuan tentang hak mendahulu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan,
dan biaya penagihan pajak.
| |
(3)
|
Hak mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap:
| |
a.
|
biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak;
| |
b.
|
biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud; dan/atau
| |
c.
|
biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.
| |
(3a)
|
Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi maka
kurator, likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan
pemberesan dilarang membagikan harta Wajib Pajak dalam pailit,
pembubaran atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditur lainnya
sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak Wajib
Pajak tersebut.
| |
(4)
|
Hak mendahulu hilang setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun sejak
tanggal diterbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan
Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar
bertambah.
| |
(5)
|
Perhitungan jangka waktu hak mendahulu ditetapkan sebagai berikut:
| |
a.
|
dalam hal Surat Paksa untuk membayar diberitahukan secara resmi maka
jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung
sejak pemberitahuan Surat Paksa; atau
| |
b.
|
dalam hal diberikan penundaan pembayaran atau persetujuan angsuran
pembayaran maka jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut dihitung sejak
batas akhir penundaan diberikan.
|
Penjelasan Pasal 21
Ayat (1)
Ayat ini menetapkan kedudukan negara sebagai kreditur preferen yang
dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik Penanggung
Pajak yang akan dilelang di muka umum. Pembayaran kepada kreditur lain
diselesaikan setelah utang pajak dilunasi.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (3a)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Ayat (5)
Cukup Jelas.
Pasal 22
(1)
|
Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan,
dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima)
tahun terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan,
dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali.
| |
(2)
|
Daluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila:
| |
a.
|
diterbitkan Surat Paksa;
| |
b.
|
ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung;
| |
c.
|
diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (5), atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4); atau
| |
d.
|
dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
|
Penjelasan Pasal 22
Ayat (1)
Saat daluwarsa penagihan pajak ini perlu ditetapkan untuk memberi
kepastian hukum kapan utang pajak tersebut tidak dapat ditagih lagi.
Daluwarsa penagihan pajak 5 (lima) tahun dihitung sejak Surat Tagihan
Pajak dan surat ketetapan pajak diterbitkan. Dalam hal Wajib Pajak
mengajukan permohonan pembetulan, keberatan, banding atau Peninjauan
Kembali, daluwarsa penagihan pajak 5 (lima) tahun dihitung sejak tanggal
penerbitan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,
Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
Ayat (2)
Daluwarsa penagihan pajak dapat melampaui 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila:
a.
|
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan dan memberitahukan Surat Paksa
kepada Penanggung Pajak yang tidak melakukan pembayaran hutang pajak
sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran. Dalam hal seperti itu,
daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal pemberitahuan Surat
Paksa tersebut.
|
b.
|
Wajib Pajak menyatakan pengakuan utang pajak dengan cara mengajukan
permohonan angsuran atau penundaan pembayaran utang pajak sebelum
tanggal jatuh tempo pembayaran. Dalam hal seperti itu, daluwarsa
penagihan pajak dihitung sejak tanggal surat permohonan angsuran atau
penundaan pembayaran utang pajak diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.
|
c.
|
Terdapat Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan yang diterbitkan terhadap Wajib Pajak karena Wajib
Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dan tindak pidana
lain yang dapat merugikan pendapatan Negara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam hal seperti
itu, daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal penerbitan surat
ketetapan pajak tersebut.
|
d.
|
Terhadap Wajib Pajak dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan, daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal penerbitan
Surat Perintah Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
|
Pasal 23
(1)
|
Dihapus.
| |
(2)
|
Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap:
| |
a.
|
pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;
| |
b.
|
keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;
| |
c.
|
keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain
yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau
| |
d.
|
penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang
dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang
telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
| |
hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak.
| ||
(3)
|
Dihapus.
|
Penjelasan Pasal 23
Ayat (1)
Dihapus.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Dihapus.
Pasal 24
Tata cara penghapusan piutang pajak dan penetapan besarnya penghapusan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Penjelasan Pasal 24
Menteri Keuangan mengatur tata cara penghapusan dan menentukan besarnya
jumlah piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi, antara lain karena
Wajib Pajak telah meninggal dunia dan tidak mempunyai harta warisan atau
kekayaan, Wajib Pajak badan yang telah selesai proses pailitnya, atau
Wajib Pajak yang tidak memenuhi syarat lagi sebagai subjek pajak dan hak
untuk melakukan penagihan pajak telah daluwarsa. Melalui cara ini dapat
diperkirakan secara efektif besarnya saldo piutang pajak yang akan
dapat ditagih atau dicairkan.
BAB V
KEBERATAN DAN BANDING
KEBERATAN DAN BANDING
Pasal 25
(1)
|
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu:
| |
a.
|
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
| |
b.
|
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
| |
c.
|
Surat Ketetapan Pajak Nihil;
| |
d.
|
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
| |
e.
|
pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
| |
(2)
|
Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan
mengemukakan jumlah pajak yang terutang, jumlah pajak yang dipotong atau
dipungut, atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan
disertai alasan yang menjadi dasar penghitungan.
| |
(3)
|
Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal
dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau
pemungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kecuali apabila
Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat
dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
| |
(3a)
|
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak,
Wajib Pajak wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit
sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil
pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan.
| |
(4)
|
Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (3a) bukan merupakan surat keberatan
sehingga tidak dipertimbangkan.
| |
(5)
|
Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh pegawai Direktorat
Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk menerima surat keberatan atau tanda
pengiriman surat keberatan melalui pos dengan bukti pengiriman surat,
atau melalui cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan menjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan.
| |
(6)
|
Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan,
Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis
hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi, atau
pemotongan atau pemungutan pajak.
| |
(7)
|
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) atas jumlah
pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh
sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan
Keberatan.
| |
(8)
|
Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak termasuk sebagai utang pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a).
| |
(9)
|
Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib
Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh
persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi
dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
| |
(10)
|
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administrasi
berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada
ayat (9) tidak dikenakan.
|
Penjelasan Pasal 25
Ayat (1)
Apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa jumlah rugi, jumlah pajak, dan
pemotongan atau pemungutan pajak tidak sebagaimana mestinya, Wajib Pajak
dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak.
Keberatan yang diajukan adalah mengenai materi atau isi dari ketetapan
pajak, yaitu jumlah rugi berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, jumlah besarnya pajak, atau pemotongan
atau pemungutan pajak. Yang dimaksud dengan "suatu" pada ayat ini adalah
1 (satu) keberatan harus diajukan terhadap 1 (satu) jenis pajak dan 1
(satu) Masa Pajak atau Tahun Pajak.
Contoh:
Keberatan atas ketetapan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2008 dan Tahun
Pajak 2009 harus diajukan masing-masing dalam 1 (satu) surat keberatan
tersendiri. Untuk 2 (dua) Tahun Pajak tersebut harus diajukan 2 (dua)
buah surat keberatan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "alasan-alasan yang menjadi dasar penghitungan"
adalah alasan-alasan yang jelas dan dilampiri dengan fotokopi surat
ketetapan pajak, bukti pemungutan, atau bukti pemotongan.
Ayat (3)
Batas waktu pengajuan surat keberatan ditentukan dalam waktu 3 (tiga)
bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal
pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dengan maksud agar Wajib Pajak mempunyai waktu yang cukup memadai untuk
mempersiapkan surat keberatan beserta alasannya. Apabila ternyata bahwa
batas waktu 3 (tiga) bulan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh Wajib
Pajak karena keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak (force majeur),
tenggang waktu selama 3 (tiga) bulan tersebut masih dapat
dipertimbangkan untuk diperpanjang oleh Direktur Jenderal Pajak.
Ayat (3a)
Ketentuan ini mengatur bahwa persyaratan pengajuan keberatan bagi Wajib
Pajak adalah harus melunasi terlebih dahulu sejumlah kewajiban
perpajakannya yang telah disetujui Wajib Pajak pada saat pembahasan
akhir hasil pemeriksaan. Pelunasan tersebut harus dilakukan sebelum
Wajib Pajak mengajukan keberatan.
Ayat (4)
Permohonan keberatan yang tidak memenuhi salah satu syarat sebagaimana
dimaksud dalam pasal ini bukan merupakan surat keberatan, sehingga tidak
dapat dipertimbangkan dan tidak diterbitkan Surat Keputusan Keberatan.
Ayat (5)
Tanda penerimaan surat yang telah diberikan oleh pegawai Direktorat
Jenderal Pajak atau oleh pos berfungsi sebagai tanda terima surat
keberatan apabila surat tersebut memenuhi syarat sebagai surat
keberatan. Dengan demikian, batas waktu penyelesaian keberatan dihitung
sejak tanggal penerimaan surat dimaksud. Apabila surat Wajib Pajak tidak
memenuhi syarat sebagai surat keberatan dan Wajib Pajak memperbaikinya
dalam batas waktu penyampaian surat keberatan, batas waktu penyelesaian
keberatan dihitung sejak diterima surat berikutnya yang memenuhi syarat
sebagai surat keberatan.
Ayat (6)
Agar Wajib Pajak dapat menyusun keberatan dengan alasan yang kuat, Wajib
Pajak diberi hak untuk meminta dasar pengenaan pajak, penghitungan
rugi, atau pemotongan atau pemungutan pajak yang telah ditetapkan. Oleh
karena itu, Direktur Jenderal Pajak berkewajiban untuk memenuhi
permintaan tersebut.
Ayat (7)
Ayat ini mengatur bahwa Jatuh tempo pembayaran yang tertera dalam surat
ketetapan pajak tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal
penerbitan Surat Keputusan Keberatan. Penangguhan jangka waktu pelunasan
pajak menyebabkan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan
sebagaimana diatur dalam Pasal 19 tidak diberlakukan atas jumlah pajak
yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan.
Ayat (8)
Cukup Jelas.
Ayat (9)
Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian dan
Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan banding, jumlah pajak
berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah
dibayar sebelum mengajukan keberatan harus dilunasi paling lama 1 (satu)
bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan, dan penagihan
dengan Surat Paksa akan dilaksanakan apabila Wajib Pajak tidak melunasi
utang pajak tersebut. Di samping itu, Wajib Pajak dikenai sanksi
administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen).
Contoh:
Untuk tahun pajak 2008, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 1.000.000.000,00
diterbitkan terhadap PT A. Dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan,
Wajib Pajak hanya menyetujui pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp
200.000.000.00. Wajib Pajak telah melunasi sebagian SKPKB tersebut
sebesar Rp 200.000.000,00 dan kemudian mengajukan keberatan atas koreksi
lainnya. Direktur Jenderal Pajak mengabulkan sebagian keberatan Wajib
Pajak dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp
750.000.000,00. Dalam hal ini, Wajib Pajak tidak dikenai sanksi
administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 19, tetapi dikenai sanksi
sesuai dengan ayat ini, yaitu sebesar 50% x (Rp 750.000.000.00-Rp
200.000.000,00) = Rp 275.000.000,00.
Ayat (10)
Cukup Jelas.
Pasal 26
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas)
bulan sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan
atas keberatan yang diajukan.
|
(2)
|
Sebelum surat keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis.
|
(3)
|
Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa
mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya
jumlah pajak yang masih harus dibayar.
|
(4)
|
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b dan huruf d, Wajib
Pajak yang bersangkutan harus dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan
pajak tersebut.
|
(5)
|
Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui
dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, keberatan
yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.
|
Penjelasan Pasal 26
Ayat (1)
Terhadap surat keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak, kewenangan
penyelesaian dalam tingkat pertama diberikan kepada Direktur Jenderal
Pajak dengan ketentuan batasan waktu penyelesaian keputusan atas
keberatan Wajib Pajak ditetapkan paling lama 12 (dua belas) bulan sejak
tanggal surat keberatan diterima.
Dengan ditentukannya batas waktu penyelesaian keputusan atas keberatan
tersebut, berarti akan diperoleh suatu kepastian hukum bagi Wajib Pajak
selain terlaksananya administrasi perpajakan.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Ayat ini mengharuskan Wajib Pajak membuktikan ketidakbenaran ketetapan
pajak dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan terhadap pajak-pajak
yang ditetapkan secara jabatan. Surat ketetapan pajak secara jabatan
tersebut diterbitkan karena Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat
Pemberitahuan Tahunan meskipun telah ditegur secara tertulis, tidak
memenuhi kewajiban menyelenggarakan pembukuan, atau menolak untuk
memberikan kesempatan kepada pemeriksa memasuki tempat-tempat tertentu
yang dipandang perlu, dalam rangka pemeriksaan guna menetapkan besarnya
jumlah pajak yang terutang. Apabila Wajib Pajak tidak dapat membuktikan
ketidakbenaran surat ketetapan pajak secara jabatan, pengajuan
keberatannya ditolak.
Ayat (5)
Cukup Jelas.
Pasal 26A
(1)
|
Tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
(2)
|
Tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), antara lain, mengatur tentang pemberian hak kepada Wajib
Pajak untuk hadir memberikan keterangan atau memperoleh penjelasan
mengenai keberatannya.
|
(3)
|
Apabila Wajib Pajak tidak menggunakan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), proses keberatan tetap dapat diselesaikan.
|
(4)
|
Wajib Pajak yang mengungkapkan pembukuan, catatan, data, informasi, atau
keterangan lain dalam proses keberatan yang tidak diberikan pada saat
pemeriksaan, selain data dan informasi yang pada saat pemeriksaan belum
diperoleh Wajib Pajak dari pihak ketiga, pembukuan, catatan, data,
informasi, atau keterangan lain dimaksud tidak dipertimbangkan dalam
penyelesaian keberatannya.
|
Penjelasan Pasal 26A
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Agar dapat memberikan kesempatan yang lebih luas kepada Wajib Pajak
untuk memperoleh keadilan dalam penyelesaian keberatannya, dalam tata
cara sebagaimana dimaksud pada ayat ini diatur, antara lain, Wajib Pajak
dapat hadir untuk memberikan keterangan atau memperoleh penjelasan
mengenai keberatannya.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Pasal 27
(1)
|
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan
peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26 ayat (1).
|
(2)
|
Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di lingkungan peradilan tata usaha negara.
|
(3)
|
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis
dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas paling lama 3 (tiga)
bulan sejak Surat Keputusan Keberatan diterima dan dilampiri dengan
salinan Surat Keputusan Keberatan tersebut.
|
(4)
|
Dihapus.
|
(4a)
|
Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan permohonan
banding, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara
tertulis hal-hal yang menjadi dasar Surat Keputusan Keberatan yang
diterbitkan.
|
(5)
|
Dihapus.
|
(5a)
|
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), ayat (3a), atau Pasal 25
ayat (7), atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan
keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal
penerbitan Putusan Banding.
|
(5b)
|
Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5a) tidak termasuk sebagai utang pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a).
|
(5c)
|
Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan banding
belum merupakan pajak yang terutang sampai dengan Putusan Banding
diterbitkan.
|
(5d)
|
Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib
Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus
persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan
pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
|
(6)
|
Badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dalam Pasal 23 ayat (2) diatur dengan undang-undang.
|
Penjelasan Pasal 27A
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Dihapus.
Ayat (4a)
Cukup Jelas.
Ayat (5)
Dihapus.
Ayat (5a)
Ayat ini mengatur bahwa bagi Wajib Pajak yang mengajukan banding, jangka
waktu pelunasan pajak yang diajukan banding tertangguh sampai dengan 1
(satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding. Penangguhan
Jangka waktu pelunasan pajak menyebabkan sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan sebagaimana diatur dalam Pasal
19 tidak diberlakukan atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat
pengajuan keberatan.
Ayat (5b)
Cukup Jelas.
Ayat (5c)
Cukup Jelas.
Ayat (5d)
Dalam hal permohonan banding Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan
sebagian, jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan
pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan harus dilunasi
paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding, dan
penagihan dengan Surat Paksa akan dilaksanakan apabila Wajib Pajak
tidak melunasi utang pajak tersebut. Di samping itu, Wajib Pajak dikenai
sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen)
sebagaimana dimaksud pada ayat ini.
Contoh:
Untuk tahun pajak 2008, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 1.000.000.000,00
diterbitkan terhadap PT A. Dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan,
Wajib Pajak hanya menyetujui pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp
200.000.000,00. Wajib Pajak telah melunasi sebagian SKPKB tersebut
sebesar Rp 200.000.000,00 dan kemudian mengajukan keberatan atas koreksi
lainnya. Direktur Jenderal Pajak mengabulkan sebagian keberatan Wajib
Pajak dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp
750.000.000,00.
Selanjutnya Wajib Pajak mengajukan permohonan banding dan oleh
Pengadilan Pajak diputuskan besarnya pajak yang masih harus dibayar
menjadi sebesar Rp 450.000.000,00. Dalam hal ini baik sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan sebagaimana
diatur dalam Pasal 19 maupun sanksi administrasi berupa denda
sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (9) tidak dikenakan. Namun, Wajib
Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan ayat ini,
yaitu sebesar 100% x (Rp 450.000.000,00 - Rp 200.000.000.00) = Rp
250.000.000,00.
Ayat (6)
Cukup Jelas.
Pasal 27A
(1)
|
Apabila pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan
peninjauan kembali dikabulkan sebagian atau seluruhnya, selama pajak
yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud dalam Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat
Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar yang telah
dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran
dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua
persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dengan
ketentuan sebagai berikut:
| |
a.
|
untuk Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan
kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali; atau
| |
b.
|
untuk Surat Ketetapan Pajak Nihil dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
dihitung sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak sampai dengan
diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan
Peninjauan Kembali.
| |
(1a)
|
Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga diberikan atas
Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak,
atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak yang dikabulkan
sebagian atau seluruhnya menyebabkan kelebihan pembayaran pajak dengan
ketentuan sebagai berikut:
| |
a.
|
untuk Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan
kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat
Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak;
| |
b.
|
untuk Surat Ketetapan Pajak Nihil dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
dihitung sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak sampai dengan
diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan
Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak; atau
| |
c.
|
untuk Surat Tagihan Pajak dihitung sejak tanggal pembayaran yang
menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya
Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak,
atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak.
| |
(2)
|
Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga diberikan atas
pembayaran lebih sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (4) dan/atau bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 ayat (1) berdasarkan Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi
atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi sebagai akibat
diterbitkan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan
Peninjauan Kembali yang mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan
Wajib Pajak.
| |
(3)
|
Tata cara penghitungan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dan
pemberian imbalan bunga diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
|
Penjelasan Pasal 27A
Ayat (1)
Imbalan bunga diberikan berkenaan dengan Surat Keputusan Keberatan,
Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali dalam Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat
Ketetapan Pajak Nihil atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar yang telah
dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak.
Ayat (1a)
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan pembetulan, pengurangan,
atau pembatalan atas surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak yang
keputusannya mengabulkan sebagian atau seluruhnya, selama jumlah pajak
yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud dalam surat ketetapan
pajak atau Surat Tagihan Pajak telah dibayar menyebabkan kelebihan
pembayaran pajak, kelebihan pembayaran dimaksud dikembalikan dengan
ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling
lama 24 (dua puluh empat) bulan.
Ayat (2)
Imbalan bunga juga diberikan terhadap pembayaran lebih Surat Tagihan
Pajak yang telah diterbitkan berdasarkan Pasal 14 ayat (4) dan Pasal 19
ayat (1) sehubungan dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, yang memperoleh
pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa denda atau
bunga.
Pengurangan atau penghapusan yang dimaksud merupakan akibat dari adanya
Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan
Kembali atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan tersebut, yang mengabulkan sebagian atau
seluruh permohonan Wajib Pajak.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
BAB VI
PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN
PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN
Pasal 28
(1)
|
Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan
pembukuan.
|
(2)
|
Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi wajib melakukan pencatatan,
adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto
dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan Wajib Pajak
orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
|
(3)
|
Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan
memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha
yang sebenarnya.
|
(4)
|
Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan
menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan
disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan
oleh Menteri Keuangan.
|
(5)
|
Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas.
|
(6)
|
Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.
|
(7)
|
Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta,
kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian
sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
|
(8)
|
Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah
dapat diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat izin Menteri
Keuangan.
|
(9)
|
Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas data yang
dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto
dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak
yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang
dikenai pajak yang bersifat final.
|
(10)
|
Dihapus.
|
(11)
|
Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan
dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang
dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi on-line wajib
disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat
kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat
kedudukan Wajib Pajak badan.
|
(12)
|
Bentuk dan tata cara pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
Penjelasan Pasal 28
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Ayat (5)
Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode
pembukuan dengan tahun-tahun sebelumnya untuk mencegah penggeseran laba
atau rugi. Prinsip taat asas dalam metode pembukuan misalnya dalam
penerapan:
a.
|
stelsel pengakuan penghasilan;
|
b.
|
tahun buku;
|
c.
|
metode penilaian persediaan; atau
|
d.
|
metode penyusutan dan amortisasi.
|
Stelsel akrual adalah suatu metode penghitungan penghasilan dan biaya
dalam arti penghasilan diakui pada waktu diperoleh dan biaya diakui pada
waktu terutang. Jadi, tidak tergantung kapan penghasilan itu diterima
dan kapan biaya itu dibayar secara tunai.
Termasuk dalam pengertian stelsel akrual adalah pengakuan penghasilan
berdasarkan metode persentase tingkat penyelesaian pekerjaan yang
umumnya dipakai dalam bidang konstruksi dan metode lain yang dipakai
dalam bidang usaha tertentu seperti build operate and transfer (BOT) dan
real estat.
Stelsel kas adalah suatu metode yang penghitungannya didasarkan atas
penghasilan yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai.
Menurut stelsel kas, penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan
apabila benar-benar telah diterima secara tunai dalam suatu periode
tertentu serta biaya baru dianggap sebagai biaya apabila benar-benar
telah dibayar secara tunai dalam suatu periode tertentu.
Stelsel kas biasanya digunakan oleh perusahaan kecil orang pribadi atau
perusahaan jasa, misalnya transportasi, hiburan, dan restoran yang
tenggang waktu antara penyerahan jasa dan penerimaan pembayarannya tidak
berlangsung lama. Dalam stetsel kas murni, penghasilan dari penyerahan
barang atau jasa ditetapkan pada saat pembayaran dari pelanggan diterima
dan biaya-biaya ditetapkan pada saat barang, jasa, dan biaya operasi
lain dibayar.
Dengan cara ini, pemakaian stelsel kas dapat mengakibatkan penghitungan
yang mengaburkan terhadap penghasilan, yaitu besarnya penghasilan dari
tahun ke tahun dapat disesuaikan dengan mengatur penerimaan kas dan
pengeluaran kas. Oleh karena itu, untuk penghitungan Pajak Penghasilan
dalam memakai stelsel kas harus memperhatikan hal-hal antara lain
sebagai berikut:
1)
|
Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus meliputi seluruh
penjualan, baik yang tunai maupun yang bukan. Dalam menghitung harga
pokok penjualan harus diperhitungkan seluruh pembeiian dan persediaan.
|
2)
|
Dalam memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak- hak yang dapat
diamortisasi, biaya-biaya yang dikurangkan dari penghasilan hanya dapat
dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi.
|
3)
|
Pemakaian stelsel kas harus dilakukan secara taat asas (konsisten).
|
Dengan demikian penggunaan stelsel kas untuk tujuan perpajakan dapat juga dinamakan stelsel campuran.
Ayat (6)
Pada dasarnya metode pembukuan yang dianut harus taat asas, yaitu harus
sama dengan tahun-tahun sebelumnya, misalnya dalam hal penggunaan metode
pengakuan penghasilan dan biaya (metode kas atau akrual), metode
penyusutan aktiva tetap, dan metode penilaian persediaan. Namun,
perubahan metode pembukuan masih dimungkinkan dengan syarat telah
mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak. Perubahan metode
pembukuan harus diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum
dimulainya tahun buku yang bersangkutan dengan menyampaikan alasan yang
logis dan dapat diterima serta akibat yang mungkin timbul dari perubahan
tersebut.
Perubahan metode pembukuan akan mengakibatkan perubahan dalam prinsip
taat asas yang dapat meliputi perubahan metode dari kas ke akrual atau
sebaliknya atau perubahan penggunaan metode pengakuan penghasilan atau
pengakuan biaya itu sendiri, misalnya dalam metode pengakuan biaya yang
berkenaan dengan penyusutan aktiva tetap dengan menggunakan metode
penyusutan tertentu. Contoh:
Wajib Pajak da!am tahun 2008 menggunakan metode penyusutan "garis lurus
atau straight line method. Jika da!am tahun 2009 Wajib Pajak bermaksud
mengubah metode penyusutan aktiva dengan menggunakan metode penyusutan
saldo menurun atau declining balance method, Wajib Pajak harus minta
persetujuan terlebih dahulu kepada Direktur jenderal Pajak yang diajukan
sebelum dimulainya tahun buku 2009 dengan menyebutkan alasan
dilakukannya perubahan metode penyusutan dan akibat dari perubahan
tersebut.
Selain itu, perubahan periode tahun buku Juga berakibat berubahnya
jumlah penghasilan atau kerugian Wajib Pajak. Oleh karena itu, perubahan
tersebut juga harus mendapat persetujuan Direktur Jenderal Pajak.
Tahun Pajak adalah sama dengan tahun kalender kecuali Wajib Pajak
menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. Apabila
Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun
kalender, penyebutan Tahun Pajak yang bersangkutan menggunakan tahun
yang di dalamnya termasuk 6 (enam) bulan pertama atau lebih.
Contoh:
a.
|
Tahun buku 1 Juli 2008 sampai dengan 30 Juni 2009 adalah Tahun Pajak 2008.
|
b.
|
Tahun buku 1 Oktober 2008 sampai dengan 30 September 2009 adalah Tahun Pajak 2009.
|
Ayat (7)
Pengertian pembukuan teiah diatur dalam Pasai 1 angka 29. Pengaturan
dalam ayat ini dimaksudkan agar berdasarkan pembukuan tersebut dapat
dihitung besarnya pajak yang terutang. Selain dapat dihitung besarnya
Pajak Penghasilan, pajak lainnya juga harus dapat dihitung dari
pembukuan tersebut. Agar Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah dapat dihitung dengan benar, pembukuan harus mencatat
juga jumlah harga perolehan atau nilai impor, jumlah harga jual atau
nilai ekspor, jumlah harga jual dari barang yang dikenakan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah, jumlah pembayaran atas pemanfaatan Barang
Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean
dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean di dalam
daerah pabean, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dan yang
tidak dapat dikreditkan.
Dengan demikian, pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undang perpajakan menentukan lain.
Dengan demikian, pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undang perpajakan menentukan lain.
Ayat (8)
Cukup Jelas.
Ayat (9)
Pencatatan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha
dan pekerjaan bebas meliputi peredaran atau penerimaan bruto dan
penerimaan penghasilan lainnya, sedangkan bagi mereka yang semata-mata
menerima penghasilan dari luar usaha dan pekerjaan bebas, pencatatannya
hanya mengenai penghasitan bruto, pengurang, dan penghasilan neto yang
merupakan objek Pajak Penghasilan. Di samping itu, pencatatan meliputi
pula penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang
bersifat final.
Ayat (10)
Dihapus.
Ayat (11)
Buku, catatan, dan dokumen termasuk yang diselenggarakan secara program
aplikasi on-line dan hasil pengolahan data elektronik yang menjadi dasar
pembukuan atau pencatatan harus disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di
Indonesia. Hal itu diimaksudkan agar apabila Direktur Jenderal Pajak
akan mengeluarkan surat ketetapan pajak, bahan pembukuan atau pencatatan
yang diperlukan masih tetap ada dan dapat segera disediakan. Kurun
waktu 10 (sepuluh) tahun penyimpanan buku, catatan, dan dokumen yang
menjadi dasar pembukuan atau pencatatan adalah sesuai dengan ketentuan
yang mengatur mengenai batas daluwarsa penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan. Penyimpanan buku, Catatan, dan dokumen yang menjadi
dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk yang
diselenggarakan secara program aplikasi on-line harus dilakukan dengan
memperhatikan faktor keamanan, kelayakan, dan kewajaran penyimpanan.
Ayat (12)
Cukup Jelas.
Pasal 29
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan
lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
| |
(2)
|
Untuk keperluan pemeriksaan, petugas pemeriksa harus memiliki tanda
pengenal pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan
serta memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang diperiksa.
| |
(3)
|
Wajib Pajak yang diperiksa wajib:
| |
a.
|
memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang
menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan
yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek
yang terutang pajak;
| |
b.
|
memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang
perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau
| |
c.
|
memberikan keterangan lain yang diperlukan.
| |
(3a)
|
Buku, catatan, dan dokumen, serta data, informasi, dan keterangan lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak
paling lama 1 (satu) bulan sejak permintaan disampaikan.
| |
(3b)
|
Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) sehingga tidak dapat dihitung besarnya penghasilan kena pajak,
penghasilan kena pajak tersebut dapat dihitung secara jabatan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
| |
(4)
|
Apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta
keterangan yang diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk
merahasiakannya, maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh
permintaan untuk keperluan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
|
Penjelasan Pasal 29
Ayat (1)
Direktur Jenderal Pajak dalam rangka pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan berwenang melakukan pemeriksaan untuk:
a.
|
menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak; dan/atau
|
b.
|
tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
Pemeriksaan dapat dilakukan di kantor (Pemeriksaan Kantor) atau di
tempat Wajib Pajak (Pemeriksaan Lapangan) yang ruang lingkup
pemeriksaannya dapat meliputi satu jenis pajak, beberapa jenis pajak,
atau seluruh jenis pajak, baik untuk tahun-tahun yang lalu maupun untuk
tahun berjalan.
Pemeriksaan dapat dilakukan terhadap Wajib Pajak, termasuk terhadap
instansi pemerintah dan badan lain sebagai pemungut pajak atau pemotong
pajak.
Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban
perpajakan Wajib Pajak dilakukan dengan menelusuri kebenaran Surat
Pemberitahuan, pembukuan atau pencatatan, dan pemenuhan kewajiban
perpajakan lainnya dibandingkan dengan keadaan atau kegiatan usaha
sebenarnya dari Wajib Pajak.
Selain itu, pemeriksaan dapat juga dilakukan untuk tujuan lain, di antaranya:
1.
|
pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan;
|
2.
|
penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak;
|
3.
|
pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
|
4.
|
Wajib Pajak mengajukan keberatan;
|
5.
|
pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto;
|
6.
|
pencocokan data dan/atau alat keterangan;
|
7.
|
penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil;
|
8.
|
penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai;
|
9.
|
pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;
|
10.
|
penentuan saat mulai berproduksi sehubungan dengan fasilitas perpajakan; dan/atau
|
11.
|
pemenuhan permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda.
|
Ayat (2)
Pemeriksaan dilaksanakan oleh petugas pemeriksa yang jelas identitasnya.
Oleh karena itu, petugas pemeriksa harus memiliki tanda pengenal
pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan, serta
memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang diperiksa. Petugas pemeriksa
harus menjelaskan tujuan dilakukannya pemeriksaan kepada Wajib Pajak.
Petugas pemeriksa harus telah mendapat pendidikan teknis yang cukup dan
memiliki keterampilan sebagai pemeriksa pajak. Dalam menjalankan
tugasnya, petugas pemeriksa harus bekerja dengan jujur, bertanggung
jawab, penuh pengertian, sopan, dan objektif serta wajib menghindarkan
diri dari perbuatan tercela.
Pendapat dan simpulan petugas pemeriksa harus didasarkan pada bukti yang
kuat dan berkaitan serta berlandaskan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Petugas pemeriksa harus melakukan pembinaan kepada Wajib Pajak dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Ayat (3)
Kewajiban yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak yang diperiksa
sebagaimana dimaksud pada ayat ini disesuaikan dengan tujuan
dilakukannya pemeriksaan baik dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan maupun untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Apabila Wajib Pajak menyelenggarakan pencatatan atau pembukuan dengan
menggunakan proses pengolahan data secara elektronik electronic data
processing/EDP), baik yang diselenggarakan sendiri maupun yang
diselenggarakan melalui pihak lain, Wajib Pajak harus memberikan akses
kepada petugas pemeriksa untuk mengakses dan/atau mengunduh data dari
catatan, dokumen, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan
yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek
yang terutang pajak.
Berdasarkan ayat ini Wajib Pajak yang diperiksa juga memiliki kewajiban
memberikan kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat atau
ruangan yang merupakan tempat penyimpanan dokumen, uang, dan/atau barang
yang dapat memberi petunjuk tentang keadaan usaha Wajib Pajak dan
melakukan peminjaman dan/atau pemeriksaan di tempat-tempat tersebut.
Dalam hal petugas pemeriksa membutuhkan keterangan lain selain buku,
catatan, dan dokumen lain, Wajib Pajak harus memberikan keterangan lain
yang dapat berupa keterangan tertulis dan/atau keterangan lisan.
Keterangan tertulis misalnya:
a.
|
surat pernyataan tidak diaudit oleh Kantor Akuntan Publik;
|
b.
|
keterangan bahwa fotokopi dokumen yang dipinjamkan sesuai dengan aslinya;
|
c.
|
surat pernyataan tentang kepemilikan harta; atau
|
d.
|
surat pernyataan tentang perkiraan biaya hidup.
|
Keterangan lisan misalnya:
a.
|
wawancara tentang proses pembukuan Wajib Pajak;
|
b.
|
wawancara tentang proses produksi Wajib Pajak; atau
|
c.
|
wawancara dengan manajemen tentang transaksi-transaksi yang bersifat khusus.
|
Ayat (3a)
Cukup Jelas.
Ayat (3b)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Untuk mencegah adanya dalih bahwa Wajib Pajak yang sedang diperiksa
terikat pada kerahasiaan sehingga pembukuan, catatan, dokumen serta
keterangan-keterangan iain yang diperlukan tidak dapat diberikan oleh
Wajib Pajak maka ayat ini menegaskan bahwa kewajiban merahasiakan itu
ditiadakan.
Pasal 29A
Terhadap Wajib Pajak badan yang pernyataan pendaftaran emisi sahamnya
telah dinyatakan efektif oleh badan pengawas pasar modal dan
menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan dilampiri Laporan Keuangan yang
telah diaudit oleh Akuntan Publik dengan pendapat Wajar Tanpa
Pengecualian yang:
a.
|
Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak menyatakan lebih bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B; atau
|
b.
|
terpilih untuk diperiksa berdasarkan analisis risiko
|
dapat dilakukan pemeriksaan melalui Pemeriksaan Kantor.
Penjelasan Pasal 29A
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan fasilitas kepada Wajib Pajak
yang mendaftarkan sahamnya di bursa efek, yaitu dalam hal Wajib Pajak
dilakukan pemeriksaan, pemeriksaannya dapat melalui Pemeriksaan Kantor.
Dengan Pemeriksaan Kantor, proses pemeriksaan menjadi lebih sederhana
dan cepat penyelesaiannya sehingga Wajib Pajak semakin cepat mendapatkan
kepastian hukum, dibandingkan melalui Pemeriksaan Lapangan.
Mengingat pemeriksaan dapat dilakukan melalui Pemeriksaan Kantor dan
jangka waktu pemeriksaannya cukup singkat, Direktur Jenderal Pajak
melalui Wajib Pajak dapat meminta kertas kerja pemeriksaan yang dibuat
oleh Akuntan Publik.
Pasal 30
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan penyegelan tempat atau
ruangan tertentu serta barang bergerak dan/atau tidak bergerak apabila
Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
ayat (3) huruf b.
|
(2)
|
Tata cara penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
Penjelasan Pasal 30
Ayat (1)
Dalam pemeriksaan dapat ditemukan adanya Wajib Pajak yang tidak memenuhi
ketentuan yang diatur dalam Pasal 29 ayat (3) huruf b, yakni tidak
memberikan kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruang
yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan.
Keadaan tersebut dapat disebabkan oleh berbagai hal, misalnya, Wajib
Pajak tidak berada di tempat atau sengaja tidak memberikan kesempatan
kepada pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu
dan tidak memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan.
Wajib Pajak yang pada saat dilakukan pemeriksaan tidak memberi
kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat, ruang, dan barang
bergerak dan/atau tidak bergerak, serta mengakses data yang dikelola
secara elektronik atau tidak memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan
dianggap menghalangi pelaksanaan pemeriksaan. Dalam hal demikian, untuk
memperoleh buku, catatan, dokumen termasuk data yang dikelola secara
elektronik dan benda-benda lain yang dapat memberi petunjuk tentang
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak yang diperiksa dipandang
perlu memberi kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak yang
dilaksanakan oleh pemeriksa untuk melakukan penyegelan terhadap tempat,
ruang, dan barang bergerak dan/atau tidak bergerak.
Penyegelan merupakan upaya terakhir pemeriksa untuk mernperoleh atau
mengamankan buku, catatan, dokumen termasuk data yang dikelola secara
elektronik, dan benda-benda iain yang dapat memberi petunjuk tentang
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak yang diperiksa agar
tidak dipindahkan, dihilangkan, dimusnahkan, diubah, dirusak, ditukar,
atau dipalsukan.
Penyegelan data elektronik dilakukan sepanjang tidak menghentikan
kelancaran kegiatan operasional perusahaan, khususnya yang berkaitan
dengan kepentingan masyarakat.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Pasal 31
(1)
|
Tata cara pemeriksaan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
(2)
|
Tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di antaranya
mengatur tentang pemeriksaan ulang, jangka waktu pemeriksaan, kewajiban
menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak,
dan hak Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan
dalam batas waktu yang ditentukan.
|
(3)
|
Apabila dalam pelaksanaan pemeriksaan Wajib Pajak tidak memenuhi
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) sehingga
penghitungan penghasilan kena pajak dilakukan secara jabatan, Direktur
Jenderal Pajak wajib menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan
kepada Wajib Pajak dan memberikan hak kepada Wajib Pajak untuk hadir
dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang
ditentukan.
|
Penjelasan Pasal 31
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Untuk lebih memberikan keseimbangan hak kepada Wajib Pajak dalam
menanggapi temuan hasil pemeriksaan, dalam tata cara pemeriksaan
tersebut, antara lain, mengatur kewajiban menyampaikan surat
pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak dan memberikan hak
Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil Pemeriksaan dalam
batas waktu yang ditentukan. Dalam hal Wajib Pajak tidak hadir dalam
batas waktu yang ditentukan, hasil pemeriksaan ditindaklanjuti sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
BAB VII
KETENTUAN KHUSUS
KETENTUAN KHUSUS
Pasal 32
(1)
|
Dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak diwakili dalam hal:
| |
a.
|
badan oleh pengurus;
| |
b.
|
badan yang dinyatakan pailit oleh kurator;
| |
c.
|
badan dalam pembubaran oleh orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan;
| |
d.
|
badan dalam likuidasi oleh likuidator;
| |
e.
|
suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya,
pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya; atau
| |
f.
|
anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau pengampunya.
| |
(2)
|
Wakil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggungjawab secara pribadi
dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali
apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa
mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani
tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut.
| |
(3)
|
Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa
khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
| |
(3a)
|
Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
| |
(4)
|
Termasuk dalam pengertian pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a adalah orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan
kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam menjalankan
perusahaan.
|
Penjelasan Pasal 32
Ayat (1)
Dalam Undang-Undang ini ditentukan siapa yang menjadi wakil untuk
melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak terhadap badan,
badan yang dinyatakan pailit, badan dalam pembubaran, badan dalam
likuidasi, warisan yang belum dibagi, dan anak yang belum dewasa atau
orang yang berada dalam pengampuan. Bagi Wajib Pajak tersebut perlu
ditentukan siapa yang menjadi wakil atau kuasanya karena mereka tidak
dapat atau tidak mungkin melakukan sendiri tindakan hukum tersebut.
Ayat (2)
Ayat ini menegaskan bahwa wakil Wajib Pajak yang diatur dalam
Undang-Undang ini bertanggung jawab secara pribadi atau secara renteng
atas pembayaran pajak yang terutang. Pengecualian dapat dipertimbangkan
oleh Direktur Jenderal Pajak apabila wakil Wajib Pajak dapat membuktikan
dan meyakinkan bahwa dalam kedudukannya, menurut kewajaran dan
kepatutan, tidak mungkin dimintai pertanggungjawaban.
Ayat (3)
Ayat ini memberikan kelonggaran dan kesempatan bagi Wajib Pajak untuk
meminta bantuan pihak lain yang memahami masalah perpajakan sebagai
kuasanya, untuk dan atas namanya, membantu melaksanakan hak dan
kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
Bantuan tersebut meliputi pelaksanaan kewajiban formal dan material
serta pemenuhan hak Wajib Pajak yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Yang dimaksud dengan "kuasa" adalah orang yang menerima kuasa khusus dari Wajib Pajak untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan.
Yang dimaksud dengan "kuasa" adalah orang yang menerima kuasa khusus dari Wajib Pajak untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan.
Ayat (3a)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan
dan/atau mengambil keputusan dalam rangka menjalankan kegiatan
perusahaan, misalnya berwenang menandatangani kontrak dengan pihak
ketiga, menandatangani cek, dan sebagainya walaupun orang tersebut tidak
tercantum namanya dalam susunan pengurus yang tertera dalam akte
pendirian maupun akte perubahan, termasuk dalam pengertian pengurus.
Ketentuan dalam ayat ini berlaku pula bagi komisaris dan pernegang saham
mayoritas atau pengendali.
Pasal 33
Dihapus.
Penjelasan Pasal 33
Dihapus.
Pasal 34
(1)
|
Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu
yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam
rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
| |
(2)
|
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga
ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu dalam
pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
| |
(2a)
|
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
| |
a.
|
pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan; atau
| |
b.
|
pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan Menteri Keuangan untuk
memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi
Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan
negara.
| |
(3)
|
Untuk kepentingan negara, Menteri Keuangan berwenang memberi izin
tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga
ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) supaya memberikan keterangan dan
memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada
pihak yang ditunjuk.
| |
(4)
|
Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau
perdata, atas permintaan Hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan
Hukum Acara Perdata, Menteri Keuangan dapat memberi izin tertulis kepada
pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti
tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
| |
(5)
|
Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus menyebutkan
nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan
antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan
yang diminta.
|
Penjelasan Pasal 34
Ayat (1)
Setiap pejabat, baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di
bidang perpajakan dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak yang
menyangkut masalah perpajakan, antara lain:
a.
|
Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan lain-lain yang dilaporkan oleh Wajib Pajak;
|
b.
|
data yang diperoleh dalam rangka petaksanaan pemeriksaan;
|
c.
|
dokumen dan/atau data yang diperoleh dari pihak ketiga yang bersifat rahasia;
|
d.
|
dokumen dan/atau rahasia Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkenaan
|
Ayat (2)
Para ahli, seperti ahli bahasa, akuntan, dan pengacara yang ditunjuk
oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu pelaksanaan undang-undang
perpajakan adalah sama dengan petugas pajak yang dilarang pula untuk
mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
Ayat (2a)
Keterangan yang dapat diberitahukan adalah identitas Wajib Pajak dan
informasi yang bersifat umum tentang perpajakan identitas Wajib Pajak
meliputi:
1.
|
nama Wajib Pajak;
|
2.
|
Nomor Pokok Wajib Pajak;
|
3.
|
alamat Wajib Pajak;
|
4.
|
alamat kegiatan usaha;
|
5.
|
merek usaha; dan/atau
|
6.
|
kegiatan usaha Wajib Pajak.
|
Informasi yang bersifat umum tentang perpajakan meliputi:
a.
|
penerimaan pajak secara nasional;
|
b.
|
penerimaan pajak per Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan/atau per Kantor Pelayanan Pajak;
|
c.
|
penerimaan pajak perjenis pajak;
|
d.
|
penerimaan pajak per klasifikasi lapangan usaha;
|
e.
|
jumlah Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak terdaftar;
|
f.
|
register permohonan Wajib Pajak;
|
g.
|
tunggakan pajak secara nasional; dan/atau
|
h.
|
tunggakan pajak per Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan/atau per Kantor Pelayanan Pajak.
|
Ayat (3)
Untuk kepentingan negara, misalnya dalam rangka penyidikan, penuntutan,
atau dalam rangka mengadakan kerja sama dengan instansi pemerintah lain,
keterangan atau bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak dapat
diberikan atau diperlihatkan kepada pihak tertentu yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan.
Dalam surat izin yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan harus
dicantumkan nama Wajib Pajak, nama pihak yang ditunjuk, dan nama
pejabat, ahli, atau tenaga ahli yang diizinkan untuk memberikan
keterangan atau memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib
Pajak. Pemberian izin tersebut dilakukan secara terbatas dalam hal-hal
yang dipandang perlu oleh Menteri Keuangan.
Ayat (4)
Untuk melaksanakan pemeriksaan pada sidang pengadilan dalam perkara
pidana atau perdata yang berhubungan dengan masalah perpajakan, demi
kepentingan peradilan, Menteri Keuangan memberikan izin pembebasan atas
kewajiban kerahasiaan kepada pejabat pajak dan para ahli sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) atas permintaan tertulis hakim ketua
sidang.
Ayat (5)
Ayat ini merupakan pembatasan dan penegasan bahwa keterangan perpajakan
yang diminta hanya mengenai perkara pidana atau perdata tentang
perbuatan atau peristiwa yang menyangkut bidang perpajakan dan hanya
terbatas pada tersangka yang bersangkutan.
Pasal 35
(1)
|
Apabila dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan diperlukan keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik,
notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan/atau pihak ketiga
lainnya, yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang dilakukan
pemeriksaan pajak, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan, atas permintaan tertulis dari Direktur Jenderal
Pajak, pihak-pihak tersebut wajib memberikan keterangan atau bukti yang
diminta.
|
(2)
|
Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terikat oleh
kewajiban merahasiakan, untuk keperluan pemeriksaan, penagihan pajak,
atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, kewajiban
merahasiakan tersebut ditiadakan, kecuali untuk bank, kewajiban
merahasiakan ditiadakan atas permintaan tertulis dari Menteri Keuangan.
|
(3)
|
Tata cara permintaan keterangan atau bukti dari pihak-pihak yang terikat
oleh kewajiban merahasiakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
Penjelasan Pasal 35
Ayat (1)
Untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan,
atas permintaan tertulis Direktur Jenderal Pajak, pihak ketiga yaitu
bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan
pihak ketiga lainnya yang mempunyai hubungan dengan kegiatan usaha
Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan pajak atau penagihan pajak atau
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan harus memberikan
keterangan atau bukti-bukti yang diminta.
Yang dimaksud dengan "konsultan pajak" adalah setiap orang yang dalam
lingkungan pekerjaannya secara bebas memberikan jasa konsultasi kepada
Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (2)
Untuk kepentingan perpajakan, pimpinan Bank Indonesia atas permintaan
Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank
agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta
surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada
pejabat pajak.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Pasal 35A
(1)
|
Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib
memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada
Direktorat Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35 ayat (2).
|
(2)
|
Dalam hal data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
mencukupi, Direktur Jenderal Pajak berwenang menghimpun data dan
informasi untuk kepentingan penerimaan negara yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2).
|
Penjelasan Pasal 35A
Ayat (1)
Dalam rangka pengawasan kepatuhan pelaksanaan kewajiban perpajakan
sebagai konsekuensi penerapan sistem self assessment, data dan informasi
yang berkaitan dengan perpajakan yang bersumber dari instansi
pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain sangat diperlukan oleh
Direktorat Jenderal Pajak. Data dan informasi dimaksud adalah data dan
informasi orang pribadi atau badan yang dapat menggambarkan kegiatan
atau usaha, peredaran usaha, penghasilan dan/atau kekayaan yang
bersangkutan, termasuk informasi mengenai nasabah debitur, data
transaksi keuangan dan lalu lintas devisa, kartu kredit, serta laporan
keuangan dan/atau laporan kegiatan usaha yang disampaikan kepada
instansi lain di luar Direktorat Jenderal Pajak.
Dalam rangka pelaksanaan ketentuan ini, sumber, jenis, dan tata cara
penyampaian data dan informasi kepada Direktorat Jenderal Pajak diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Ayat (2)
Apabila data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan yang
diberikan oleh instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain
belum mencukupi, untuk kepentingan penerimaan negara, Direktur Jenderal
Pajak dapat menghimpun data dan informasi yang berkaitan dengan
perpajakan sehubungan dengan terjadinya suatu peristiwa yang
diperkirakan berkaitan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak
dengan memperhatikan ketentuan tentang kerahasiaan atas data dan
informasi dimaksud.
Pasal 36
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat:
| ||
a.
|
mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda,
dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena
kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
| ||
b.
|
mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar;
| ||
c.
|
mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang tidak benar; atau
| ||
d.
|
membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
| ||
1.
|
penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau
| ||
2.
|
pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak.
| ||
(1a)
|
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan
huruf c hanya dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 2 (dua)
kali.
| ||
(1b)
|
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d hanya dapat diajukan oleh Wajib Pajak 1 (satu) kali.
| ||
(1c)
|
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan
sejak tanggal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima,
harus memberi keputusan atas permohonan yang diajukan.
| ||
(1d)
|
Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1c) telah lewat
tetapi Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap dikabulkan.
| ||
(1e)
|
Apabila diminta oleh Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak wajib
memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar untuk
menolak atau mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1c).
| ||
(2)
|
Ketentuan pelaksanaan ayat (1), ayat (1a), ayat (1b), ayat (1c), ayat
(1d), dan ayat (1e) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
|
Penjelasan Pasal 36
Ayat (1)
Dalam praktik dapat ditemukan sanksi administrasi yang dikenakan kepada
Wajib Pajak tidak tepat karena ketidaktelitian petugas pajak yang dapat
membebani Wajib Pajak yang tiidak bersalah atau tidak memahami peraturan
perpajakan. Dalam hal demikian, sanksi administrasi berupa bunga,
denda, dan kenaikan yang telah ditetapkan dapat dihapuskan atau
dikurangkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Selain itu, Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas
permohonan Wajib Pajak dan berlandaskan unsur keadilan dapat
mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar,
misalnya Wajib Pajak yang ditolak pengajuan keberatannya karena tidak
memenuhi persyaratan formal (memasukkan surat keberatan tidak pada
waktunya) meskipun persyaratan material terpenuhi.
Demikian juga, atas Surat Tagihain Pajak yang tidak benar dapat
dilakukan pengurangan atau pembatalan oleh Direktur Jenderal Pajak
karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak.
Dalam rangka memberikan keadilan dan melindungi hak Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak atas kewenangannya atau atas permohonan Wajib Pajak dapat mernbatalkan hasil pemeriksaan pajak yang dilaksanakan tanpa penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan atau tanpa dilakukan pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak. Namun, dalam hal Wajib Pajak tidak hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan sesuai dengan batas waktu yang ditentukan, permohonan Wajib Pajak tidak dapat dipertimbangkan.
Ayat (1a)
Cukup Jelas.
Ayat (1b)
Cukup Jelas.
Ayat (1c)
Cukup Jelas.
Ayat (1d)
Cukup Jelas.
Ayat (1e)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Pasal 36A
(1)
|
Pegawai pajak yang karena kelalaiannya atau dengan sengaja menghitung
atau menetapkan pajak tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang
perpajakan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
|
(2)
|
Pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya dengan sengaja bertindak di
luar kewenangannya yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, dapat diadukan ke unit internal
Departemen Keuangan yang berwenang melakukan pemeriksaan dan investigasi
dan apabila terbukti melakukannya dikenai sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
(3)
|
Pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya terbukti melakukan pemerasan
dan pengancaman kepada Wajib Pajak untuk menguntungkan diri sendiri
secara melawan hukum diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
|
(4)
|
Pegawai pajak yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara
melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang
untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran, atau
untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan perubahannya.
|
(5)
|
Pegawai pajak tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana,
apabila dalam melaksanakan tugasnya didasarkan pada iktikad baik dan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
Penjelasan Pasal 36A
Ayat (1)
Dalam rangka mengamankan penerimaan negara dan meningkatkan
profesionalisme pegawai pajak dalam melaksanakan ketentuan undang-undang
perpajakan, terhadap pegawai pajak yang dengan sengaja menghitung atau
menetapkan pajak yang tidak sesuai dengan undang-undang sehingga
mengakibatkan kerugian pada pendapatan Negara dikenai sanksi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Ayat ini mengatur pelanggaran yang dilakukan pegawai pajak, misalnya
apabila pegawai pajak melakukan pelanggaran di bidang kepegawaian,
pegawai pajak dapat diadukan karena telah melanggar peraturan
perundang-undangan di bidang kepegawaian. Apabila pegawai pajak dianggap
melakukan tindak pidana, pegawai pajak dapat diadukan karena telah
melakukan tindak pidana. Demikian juga, apabila pegawai pajak melakukan
tindak pidana korupsi, pegawai pajak dapat diadukan karena melakukan
tindak pidana korupsi.
Dalam keadaan demikian, Wajib Pajak dapat mengadukan pelanggaran yang
dilakukan pegawai pajak tersebut kepada unit internal Departemen
Keuangan.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Ayat (5)
Pegawai pajak dalam melaksanakan tugasnya dianggap berdasarkan iktikad
baik apabila pegawai pajak tersebut dalam melaksanakan tugasnya tidak
untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau
tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme.
Pasal 36B
(1)
|
Menteri Keuangan berkewajiban untuk membuat kode etik pegawai Direktorat Jenderal Pajak.
|
(2)
|
Pegawai Direktorat Jenderal Pajak wajib mematuhi kode etik pegawai Direktorat Jenderal Pajak.
|
(3)
|
Pengawasan pelaksanaan dan penampungan pengaduan pelanggaran kode etik
pegawai Direktorat Jenderal Pajak dilaksanakan oleh Komite Kode Etik
yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
|
Penjelasan Pasal 36B
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Pasal 36C
Menteri Keuangan membentuk komite pengawas perpajakan, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Penjelasan Pasal 36C
Cukup Jelas.
Pasal 36D
(1)
|
Direktorat Jenderal Pajak dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
|
(2)
|
Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
|
(3)
|
Tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
|
Penjelasan Pasal 36D
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Pemberian besarnya insentif dilakukan melalui pembahasan yang dilakukan
oleh Pemerintah dengan alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang
membidangi masalah keuangan.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Pasal 37
Perubahan besarnya imbalan bunga dan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan, diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Penjelasan Pasal 37
Sesuai dengan keadaan ekonomi keuangan, nilai uang akan dapat
berubah-ubah. Karena itu undang-undang memberikan wewenang kepada
Pemerintah apabila diperlukan dapat mengeluarkan Peraturan Pemerintah
untuk mengubah dan menyesuaikan besarnya imbalan bunga dan sanksi
administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan, sesuai dengan keadaan
ekonomi keuangan.
Pasal 37A
(1)
|
Wajib Pajak yang menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan sebelum Tahun Pajak 2007, yang mengakibatkan pajak
yang masih harus dibayar menjadi lebih besar dan dilakukan paling lama
dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini,
dapat diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa
bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
(2)
|
Wajib Pajak orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk
memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak paling lama 1 (satu) tahun setelah
berlakunya Undang-Undang ini diberikan penghapusan sanksi administrasi
atas pajak yang tidak atau kurang dibayar untuk Tahun Pajak sebelum
diperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan tidak dilakukan pemeriksaan pajak,
kecuali terdapat data atau keterangan yang menyatakan bahwa Surat
Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak tidak benar atau menyatakan
lebih bayar.
|
Penjelasan Pasal 37A
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
KETENTUAN PIDANA
Pasal 38
Setiap orang yang karena kealpaannya:
a.
|
tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
|
b.
|
menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak
lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar
|
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan
tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling sedikit 1 (satu)
kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling
banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang
dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau
paling lama 1 (satu) tahun.
Penjelasan Pasal 38
Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib
Pajak, sepanjang menyangkut tindakan administrasi perpajakan, dikenai
sanksi administrasi dengan menerbitkan surat ketetapan pajak atau Surat
Tagihan Pajak, sedangkan yang menyangkut tindak pidana di bidang
perpajakan dikenai sanksi pidana.
Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini bukan
merupakan pelanggaran administrasi melainkan merupakan tindak pidana di
bidang perpajakan.
Dengan adanya sanksi pidana tersebut, diharapkan tumbuhnya kesadaran
Wajib Pajak untuk mematuhi kewajiban perpajakan seperti yang ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Kealpaan yang dimaksud
dalam pasal ini berarti tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati, atau
kurang mengindahkan kewajibannya sehingga perbuatan tersebut dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Pasal 39
(1)
|
Setiap orang yang dengan sengaja:
| |
a.
|
tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau
tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
| |
b.
|
menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
| |
c.
|
tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
| |
d.
|
menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap;
| |
e.
|
menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;
| |
f.
|
memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau
dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang
sebenarnya;
| |
g.
|
tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak
memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;
| |
h.
|
tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan
atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari
pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara
program aplikasi on-line di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28 ayat (11); atau
| |
i.
|
tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut.
| |
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6
(enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang
yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah
pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
| ||
(2)
|
Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambahkan 1 (satu) kali
menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi
tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun,
terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.
| |
(3)
|
Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana
menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b, atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang
isinya tidak benar atau tidak lengkap, sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf d, dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan
kompensasi pajak atau pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan
denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang dimohonkan
dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4
(empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau
pengkreditan yang dilakukan.
|
Penjelasan Pasal 39
Ayat (1)
Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat ini yang
dilakukan dengan sengaja dikenai sanksi yang berat mengingat pentingnya
peranan penerimaan pajak dalam penerimaan negara.
Dalam perbuatan atau tindakan ini termasuk pula setiap orang yang dengan
sengaja tidak mendaftarkan diri, menyalahgunakan atau menggunakan tanpa
hak Nomor Pokok Wajib Pajak, atau menyalahgunakan atau menggunakan
tanpa hak Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
Ayat (2)
Untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana di bidang
perpajakan, bagi mereka yang melakukan lagi tindak pidana di bidang
perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun sejak selesainya menjalani
sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan, dikenai sanksi
pidana lebih berat, yaitu ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali
sanksi pidana yang diatur pada ayat (1).
Ayat (3)
Penyalahgunaan atau penggunaan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, atau penyampaian Surat Pemberitahuan
yang isinya tidak benar atau tidak lengkap dalam rangka mengajukan
permohonan restitusi pajak dan/atau kompensasi pajak atau pengkreditan
pajak yang tidak benar sangat merugikan negara. Oleh karena itu,
percobaan melakukan tindak pidana tersebut merupakan delik tersendiri.
Pasal 39A
Setiap orang yang dengan sengaja:
a.
|
menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak,
bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak
berdasarkan transaksi yang sebenarnya; atau
|
b.
|
menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
|
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling
lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak
dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak,
dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah
pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan
pajak, dan/atau bukti setoran pajak.
Penjelasan Pasal 39A
Penjelasan Pasal 39A
Faktur pajak sebagai bukti pungutan pajak merupakan sarana administrasi
yang sangat penting dalam pelaksanaan ketentuan Pajak Pertambahan Nilai.
Demikian juga bukti pemotongan pajak dan bukti pemungutan pajak
merupakan sarana untuk pengkreditan atau pengurangan pajak terutang
sehingga setiap penyalahgunaan faktur pajak, bukti pemotongan pajak,
bukti pemungutan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dapat mengakibatkan
dampak negatif dalam keberhasilan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penghasilan. Oeh karena itu, penyalahgunaan tersebut berupa
penerbitan dan/atau penggunaan faktur pajak, bukti pemotongan pajak,
bukti pemungutan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak
berdasarkan transaksi yang sebenarnya dikenai sanksi pidana.
Pasal 40
Tindak pidana dibidang perpajakan tidak dapat dituntut setelah lampau
waktu 10 (sepuluh) tahun sejak saat terhutangnya pajak, berakhirnya Masa
Pajak, berakhirnya Bagian Tahun Pajak, atau berakhirnya Tahun Pajak
yang bersangkutan.
Penjelasan Pasal 40
Tindak pidana dibidang perpajakan daluwarsa 10 (sepuluh) tahun, dari
sejak saat terutangnya pajak berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak
atau Tahun Pajak yang bersangkutan. Hal tersebut dimaksudkan guna
memberikan suatu kepastian hukum bagi Wajib Pajak, Penuntut Umum dan
Hakim. Jangka waktu 10 (sepuluh) tahun tersebut adalah untuk
menyesuaikan dengan daluwarsa penyimpanan dokumen-dokumen perpajakan
yang dijadikan dasar penghitungan jumlah pajak yang terutang, selama 10
(sepuluh) tahun.
Pasal 41
(1)
|
Pejabat yang karena kealpaanya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 25.000.000,00 (dua
puluh lima juta rupiah).
|
(2)
|
Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang
yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun dan denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).
|
(3)
|
Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya
dilanggar.
|
Penjelasan Pasal 41
Ayat (1)
Untuk menjamin bahwa kerahasiaan mengenai perpajakan tidak akan
diberitahukan kepada pihak lain dan supaya Wajib Pajak dalam memberikan
data dan keterangan tidak ragu-ragu, dalam rangka pelaksanaan
Undang-Undang Perpajakan, perlu adanya sanksi pidana bagi pejabat yang
bersangkutan yang menyebabkan terjadinya pengungkapan kerahasiaan
tersebut.
Pengungkapan kerahasiaan sebagaimana dimaksud pada ayat ini dilakukan karena kealpaan dalam arti lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan sehingga kewajiban untuk merahasiakan keterangan atau bukti-bukti yang ada pada Wajib Pajak yang dilindungi oleh Undang-undang Perpajakan dilanggar. Atas kealpaan tersebut, pelaku dihukum dengan hukuman yang setimpal.
Pengungkapan kerahasiaan sebagaimana dimaksud pada ayat ini dilakukan karena kealpaan dalam arti lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan sehingga kewajiban untuk merahasiakan keterangan atau bukti-bukti yang ada pada Wajib Pajak yang dilindungi oleh Undang-undang Perpajakan dilanggar. Atas kealpaan tersebut, pelaku dihukum dengan hukuman yang setimpal.
Ayat (2)
Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat ini yang
dilakukan dengan sengaja dikenai sanksi yang lebih berat dibandingkan
dengan perbuatan atau tindakan yang dilakukan karena kealpaan agar
pejabat yang bersangkutan lebih berhati-hati untuk tidak melakukan
perbuatan membocorkan rahasia Wajib Pajak.
Ayat (3)
Tuntutan pidana terhadap pelanggaran kerahasiaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai dengan sifatnya adalah menyangkut
kepentingan pribadi seseorang atau badan selaku Wajib Pajak.
Pasal 41A
Setiap orang yang wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 tetapi dengan sengaja tidak memberi
keterangan atau bukti, atau memberi keterangan atau bukti yang tidak
benar dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan
denda paling banyak Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
Penjelasan Pasal 41A
Agar pihak ketiga memenuhi permintaan Direktur Jenderal Pajak
sebagaimana diatur dalam Pasal 35 maka perlu adanya sanksi bagi pihak
ketiga yang melakukan perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal ini.
Pasal 41B
Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 75.000.000,00
(tujuh puluh lima juta rupiah).
Penjelasan Pasal 41B
Seseorang yang melakukan perbuatan menghalangi atau mempersulit
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, misalnya menghalangi
penyidik melakukan penggeledahan dan/atau menyembunyikan bahan bukti
sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini dikenai sanksi pidana.
Pasal 41C
(1)
|
Setiap orang yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35A ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
|
(2)
|
Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya
kewajiban pejabat dan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A
ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan
atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
|
(3)
|
Setiap orang yang dengan sengaja tidak memberikan data dan informasi
yang diminta oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35A ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10
(sepuluh) bulan atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan
ratus juta rupiah).
|
(4)
|
Setiap orang yang dengan sengaja menyalahgunakan data dan informasi
perpajakan sehingga menimbulkan kerugian kepada negara dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
|
Penjelasan Pasal 41C
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas,
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Pasal 42
Dihapus.
Penjelasan Pasal 42
Dihapus.
Pasal 43
(1)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A, berlaku
juga bagi wakil, kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau pihak lain yang
menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau
yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
|
(2)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A dan Pasal 41B berlaku
juga bagi yang menyuruh melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu
melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
|
Penjelasan Pasal 43
Ayat (1)
Yang dipidana karena melakukan perbuatan tindak pidana di bidang
perpajakan tidak terbatas pada Wajib Pajak, wakil Wajib Pajak, kuasa
Wajib Pajak, pegawai Wajib Pajak, Akuntan Publik, Konsultan Pajak, atau
pihak lain, tetapi juga terhadap mereka yang menyuruh melakukan, yang
turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan
tindak pidana di bidang perpajakan.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Pasal 43A
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak berdasarkan informasi, data, laporan, dan
pengaduan berwenang melakukan pemeriksaan bukti permulaan sebelum
dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
|
(2)
|
Dalam hal terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan yang
menyangkut petugas Direktorat Jenderal Pajak, Menteri Keuangan dapat
menugasi unit pemeriksa internal di lingkungan Departemen Keuangan untuk
melakukan pemeriksaan bukti permulaan.
|
(3)
|
Apabila dari bukti permulaan ditemukan unsur tindak pidana korupsi,
pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang tersangkut wajib diproses menurut
ketentuan hukum Tindak Pidana Korupsi.
|
(4)
|
Tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
Penjelasan Pasal 43A
Ayat (1)
Informasi, data, laporan, dan pengaduan yang diterima oleh Direktorat
Jenderal Pajak akan dikembangkan dan dianalisis melalui kegiatan
intelijen atau pengamatan yang hasilnya dapat ditindaklanjuti dengan
Pemeriksaan, Pemeriksaan Bukti Permulaan, atau tidak ditindaklanjuti.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
BAB IX
PENYIDIKAN
PENYIDIKAN
Pasal 44
(1)
|
Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal
Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana di
bidang perpajakan.
| |
(2)
|
Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
| |
a.
|
menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan
berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau
laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
| |
b.
|
meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi
atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan
tindak pidana di bidang perpajakan;
| |
c.
|
meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
| |
d.
|
memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
| |
e.
|
melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan,
pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan
bukti tersebut;
| |
f.
|
meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan;
| |
g.
|
menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau
tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas
orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
| |
h.
|
memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
| |
i.
|
memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
| |
j.
|
menghentikan penyidikan; dan/atau
| |
k.
|
melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan.
| |
(3)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya
penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum
melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
| |
(4)
|
Dalam rangka pelaksanaan kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), penyidik dapat meminta bantuan aparat penegak hukum lain.
|
Penjelasan Pasal 44
Ayat (1)
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal
Pajak yang diangkat sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan
oleh pejabat yang berwenang adalah penyidik tindak pidana di bidang
perpajakan. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dilaksanakan
menurut ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana
yang berlaku.
Ayat (2)
Pada ayat ini diatur wewenang Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di
lingkungan Direktorat Jenderal Pajak sebagai penyidik tindak pidana di
bidang perpajakan, termasuk melakukan penyitaan. Penyitaan tersebut
dapat dilakukan, baik terhadap barang bergerak maupun tidak bergerak,
termasuk rekening bank, piutang, dan surat berharga milik Wajib Pajak,
Penanggung Pajak, dan/atau pihak lain yang telah ditetapkan sebagai
tersangka.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Pasal 44A
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) menghentikan
penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) huruf j dalam
hal tidak terdapat cukup bukti, atau peristiwa tersebut bukan merupakan
tindak pidana di bidang perpajakan, atau penyidikan dihentikan karena
peristiwanya telah kadaluwarsa, atau tersangka meninggal dunia.
Penjelasan Pasal 44A
Dalam hal penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dihentikan
kecuali karena peristiwanya telah daluwarsa, maka surat ketetapan pajak
tetap dapat diterbitkan.
Pasal 44B
(1)
|
Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan,
Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal
surat permintaan.
|
(2)
|
Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan setelah Wajib Pajak melunasi
utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya
dikembalikan dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda
sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau
yang tidak seharusnya dikembalikan.
|
Penjelasan Pasal 44B
Ayat (1)
Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan,
Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana perpajakan
sepanjang perkara pidana tersebut belum dilimpahkan ke pengadilan.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 45
Terhadap pajak-pajak yang terhutang pada suatu saat, untuk Masa Pajak,
Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang berakhir sebelum saat
berlakunya undang-undang ini, tetap berlaku ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang lama, sampai dengan tanggal 31
Desember 1988.
Penjelasan Pasal 45
Meskipun Undang-undang Perpajakan yang lama telah dicabut dengan
diundangkannya Undang-undang ini, untuk menampung penyelesaian penetapan
pajak-pajak terutang pada masa atau tahun pajak sebelum berlakunya
Undang-undang ini, yang pelaksanaannya masih berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan lama, maka Undang-undang ini
menentukan jangka waktu berlakunya peraturan perundang-undangan lama
sampai dengan tanggal 31 Desember 1988. Penentuan jangka waktu lima
tahun tersebut disesuaikan dengan kadaluwarsa penagihan pajak.
Pasal 46
Dengan berlakunya undang-undang ini semua peraturan pelaksanaan di bidang perpajalan yang lama tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.
Penjelasan Pasal 46
Cukup Jelas.
Pasal 47
Dihapus.
Penjelasan Pasal 47
Dihapus.
Pasal 47A
Terhadap semua hak dan kewajiban yang belum diselesaikan, diberlakukan
ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
9 Tahun 1994.
Penjelasan Pasal 47A
Dalam rangka memberikan kepastian kepada Wajib Pajak maka mengenai hak
dan kewajiban perpajakan yang belum diselesaikan untuk tahun pajak 2000
dan sebelumnya tetap diberlakukan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 48
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Penjelasan Pasal 48
Untuk menampung hal-hal yang belum cukup diatur mengenai tata cara atau
kelengkapan yang materinya sudah dicantumkan dalam Undang-undang ini,
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Dengan demikian lebih
mudah mengadakan penyesuaian pelaksanaan Undang-undang ini dan tata cara
yang diperlukan.
Pasal 49
Ketentuan dalam undang-undang ini berlaku pula bagi undang-undang perpajakan lainnya kecuali apabila ditentukan lain.
Penjelasan Pasal 49
Cukup Jelas.
Catatan :
1.
|
semua hak dan kewajiban perpajakan tahun 1994 dan sebelumnya,
diberlakukan ketentuan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebelum dilakukan perubahan
berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994.
(sesuai dengan bunyi Pasal II Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan).
|
2.
|
Terhadap semua hak dan kewajiban perpajakan Tahun Pajak 1995 sampai
dengan Tahun Pajak 2000, diberlakukan ketentuan Undang-undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 sebelum dilakukan
perubahan berdasarkan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000.
(sesuai dengan bunyi Pasal 47A Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan).
|
3.
|
Terhadap semua hak dan kewajiban perpajakan Tahun Pajak 2001 sampai
dengan Tahun Pajak 2007 yang belum diselesaikan, diberlakukan ketentuan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000.
|
4.
|
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1, daluwarsa
penetapan untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2007
dan sebelumnya, selain penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (5) atau Pasal 15 ayat (4), berakhir paling lama pada akhir Tahun
Pajak 2013.
|
0 komentar:
Posting Komentar